Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Bicara Investigasi Impor Baja, Adian Berharap Kementerian Terkait Cari Solusi Bersama

Sebagaimana diketahui, proyek tersebut merupakan salah satu proyek Krakatau Steel yang sempat memicu polemik.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Bicara Investigasi Impor Baja, Adian Berharap Kementerian Terkait Cari Solusi Bersama
dok. HRS
Baja jenis hot rolled coil (HRC) produksi Krakatau Steel. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Anggota Komisi VII  DPR RI, Adian Napitupulu menyarankan kementerian terkait permasalahan impor industri baja untuk duduk bersama guna mencari solusi yang tepat.

Alasannya karena persoalan ini tidak dapat diinvestigasi secara sepihak tapi dari sisi regulator juga.

"Rapat ini tidak komplit, kalau rapat ini mau tertutup. Panggil pihak-pihak yang lain misal Kemenkeu. Kenapa banyak baja impor baja yang masuk? Apa yang didapat dari pajak impor karena semua saling terkait. Kita tidak bisa sepihak menyalahkan mereka yang jadi trader, regulator harus dikumpulkan," ujar Adian dalam rapat Komisi VII DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2022).

Dalam rapat yang kemudian tidak berjalan lancar itu tadinya akan dibahas soal Blast Furnace.

Sebagaimana diketahui, proyek tersebut merupakan salah satu proyek Krakatau Steel yang sempat memicu polemik.

Baca juga: Kronologi Anggota DPR Usir Dirut Krakatau Steel, Muncul Ucapan Maling Teriak Maling Saat Rapat

Menteri BUMN Erick Thohir beberapa waktu lalu menyebut ada bau korupsi dalam proyek itu.



Pasalnya, proyek membuat utang perusahaan sempat tembus USD 2 miliar atau Rp 28,4 triliun (asumsi kurs Rp14.200 per dolar AS).

Berita Rekomendasi

Ia menyebut penumpukan utang disebabkan oleh investasi Krakatau Steel di fasilitas blast furnace.

Sementara itu, Direktur Institut Kajian Energi, Akhmad Yuslizar mengatakan pihaknya terus menolak baja impor.

Dirinya meminta agar Kementerian Perindustrian mampu mengendalikan baja impor yang masuk ke Indonesia.

"Baja KS pasti bisa bersaing, kalau ada pengendalian baja impor. Batasi, pastinya Kementerian Perindustrian punya pola untuk mengontrol itu," ucapnya.

Duduk persoalan

Mengutip Kontan, proyek blast furnace KRAS sudah mulai masuk tahap pengadaan sejak tahun 2009 silam, kemudian proses konstruksi dimulai pada tahun 2012.

Proyek ini akhirnya selesai dan mulai beroperasi pada 11 Juli 2019.

Namun pada 14 Desember 2019, pabrik ini dihentikan operasinya.

Alasannya, terjadi ketidakcocokan antara produksi slab di pabrik tersebut dengan harga slab di pasar, sehingga KRAS berpotensi rugi.

Padahal, pabrik blast furnace tersebut menelan investasi sebesar Rp 8,5 triliun dan termasuk di dalamnya EPC sebesar Rp 6,9 triliun.

Proyek lainnya yang mangkrak adalah proyek pabrik Iron Reduced Kiln (IRK) yang mana KRAS dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) membentuk perusahaan patungan untuk menggarap pabrik tersebut dengan nama PT Meratus Jaya Iron & Steel.

Pengadaan proyek ini sudah dimulai sejak 2008 silam. Produksi IRK dimulai pada November 2012, namun pada 12 Juli 2015 pabrik yang berlokasi di Kalimantan Selatan tersebut berhenti beroperasi.

Nilai investasi proyek pabrik tersebut mencapai Rp 1,2 triliun.

Penghentian operasi pabrik IRK ini disebabkan ketidaksiapan infrastruktur penunjang industri di kawasan pabrik tersebut berada.

Alhasil, biaya transportasi, bongkar muat, dan produksi terjadi pembengkakan. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas