MAKI Desak Kejagung Tetapkan Tersangka Dugaan Kasus Korupsi Pengadaan Satelit Kemenhan
MAKI mendesak Kejaksaan Agung RI untuk segera menetapkan tersangka dugaan kasus korupsi proyek pengadaan sewa satelit orbit 123 BT di Kemenhan.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Endra Kurniawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung RI untuk segera menetapkan tersangka dugaan kasus korupsi proyek pengadaan sewa satelit orbit 123 BT di Kemenhan pada 2015.
"Hingga saat ini, Kejagung belum menetapkan tersangka untuk perkara korupsi berdasar pasal 2 dan atau 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi," ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin (14/2/2022).
MAKI, kata Boyamin, telah mendapat informasi bahwa sebelum dilakukan kontrak sewa satelit terdapat dugaan kunjungan ke Inggris oleh rombongan oknum tiga pejabat Kemenhan dan pihak swasta yang terkait dengan calon vendor sewa satelit.
"Atas kunjungan ini diduga biaya sepenuhnya dibayar oleh pihak swasta yaitu tiket pesawat, sewa kamar hotel, uang saku dan akomodasi lainnya," jelas Boyamin.
Baca juga: Jaksa Agung Bentuk Tim Koneksitas Usut Kasus Dugaan Korupsi Satelit di Kemhan
Berdasar dugaan biaya dibayar oleh swasta atas kunjungan ke Inggris tersebut, MAKI mendesak Kejagung untuk membuka penyidikan baru terkait ketentuan gratifikasi sebagaimana diatur Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12 UU Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Korupsi.
"Jika nanti ditemukan minimal dua alat bukti dan memenuhi unsur-unsur gratifikasi, maka semestinya Kejagung segera menetapkan tersangkanya," ungkap Boyamin.
Untuk dugaan jumlah gratifikasi dan dugaan kapan waktunya kunjungan ke Inggris, MAKI menyerahkan kepada Kejagung untuk melakukan pendalaman sehingga akan mendapatkan kepastiannya.
"MAKI akan segera mendatangi Kejagung guna melengkapi desakan ini. Kejagung dapat mengambil opsi mendahulukan penanganan perkara gratifikasi karena semestinya lebih mudah pembuktiannya dan akan menjadi pintu masuk untuk membuka dugaan korupsi secara keseluruhan pada perkara ini," jelas Boyamin.
Kejaksaan Agung, kata dia, sudah berpengalaman menangani perkara gratifikasi fasilitas akomodasi kunjungan ke luar negeri sebagaimana penyidikan gratifikasi mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo.
Suroso terbukti mendapatkan fasilitas mewah dan gratifikasi dari rekanan selama di London, Inggris. Kasus bermula saat Suroso pergi ke London untuk memuluskan proyek pembelian Tertra Ethyl Lead (TEL) dari The Associated Octel Cimoany Limited (Octel) melalui PT Soegih Interjaya untuk kebutuhan sejumlah kilang milik Pertamina periode akhir 2004 hingga 2005.
Suroso lalu menginap di Radisson Blu Edwardian Hotel, London, sebesar GBP 899 pada 27 April 2005. Belakangan terungkap Suroso juga menerima uang dari rekanan USD 190 ribu dan fasilitas menginap di hotel mewah itu juga difasilitasi rekanan.
Baca juga: Indikasi Kerugian Negara Sementara Kasus Korupsi Proyek Satelit di Kemhan Rp 515 Miliar
"MAKI mendesak Kejagung mempercepat penanganan perkara dugaan korupsi sewa satelit Kemenhan dalam rangka membantu pihak Kemenhan memenangkan gugatan perlawanan atas putusan Badan Arbitrase Singapura (International Chambers of Commerce / ICC ) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang saat ini sudah dimulai awal persidangannya," beber dia.
Perlawanan gugatan itu, kata dia, mengantongi register dengan nomor 64/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dan tergugat Navayo International AG dan Hungarian Exsport Credit Insurance PTE LTD.
"Apabila Kejagung lamban, maka jangan disalahkan apabila nantinya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengalahkan pihak Kemenhan dikarenakan alasan yang dapat dipakai untuk membatalkan putusan Badan Arbitrase Singapura hanyalah apabila ditemukan kecurangan termasuk korupsi," jelas dia.
"Kejagung harus bantu negara (Kemenhan) memenangkan gugatan perlawanan yang sedang diajukan di pengadilan Jakarta Pusat dalam bentuk segera menetapkan tersangka apabila ditemukan minimal dua alat bukti," sambung dia.
Desakan ini tetap mengacu asas praduga tidak bersalah sehingga jika tidak terbukti maka dilakukan penghentian penyidikan. Pasalnya, Indonesia kebanyakan kalah jika berhadapan dengan hukum internasional akibat dugaan keteledorannya sendiri.