APINDO Sebut Mayoritas JHT Dicairkan karena Mengundurkan Diri Bukan PHK
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi Sukamdani memberikan tanggapannya terkait Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang pencairan JHT.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi Sukamdani memberikan tanggapannya terkait Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) pekerja di usia 56 tahun.
Haryadi mengatakan, berdasarkan data sejak tahun 2015 hingga sekarang, mayoritas pencairan JHT dilakukan dikarenakan pekerja mengundurkan diri bukan karena PHK.
"Kalau kita melihat dari data yang ada selama ini 2015 waktu PP 60 itu keluar sampai dengan sebelum Permenaker Nomor 2 2022 itu keluar."
"Terbesar tercairkan itu karena mengundurkan diri bukan karena PHK, 70 persen lebih," kata Haryadi dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Kamis (17/2/2022).
Lebih lanjut Haryadi menilai Permenaker soal JHT ini sudah tepat.
Baca juga: Dekan FEB UI: Penolakan JHT Tak Berdasar, Bermanfaat Tekan Angka Kemiskinan Lansia
Pasalnya JHT adalah tabungan hari tua yang seharusnya diambil saat seseorang memasuki masa pensiun.
"JHT itu adalah untuk tabungan, tabungan hari tua yang diambil seharusnya saat seseorang itu memasuki masuk masa pensiun. Itu yang harus dipahami dulu," imbuhnya.
Haryadi menjelaskan bahwa JHT ini bisa didapatkan pekerja jika sudah terdaftar sebagai anggota BP Jamsostek selama 10 tahun.
Pencairan bisa dilakukan, dengan mekanisme 10 persen memasuki usia senja, dan 30 persen untuk kepemilikan rumah.
"Kalau yang bersangkutan pekerja bekerja 10 tahun. Boleh mencairkan 10 persen untuk keperluan lain-lain atau 30 persen kalau dia untuk perumahan," terang Haryadi.
Baca juga: Simulasi Perhitungan JHT: Pekerja Gaji Rp4 Juta kena PHK Usia 30 Tahun Bisa Dapat hingga Rp66 Juta
Pekerja yang Terkena PHK Terima Dana Lebih Besar Lewat JKP Dibanding JHT
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, saat ini terdapat dua program perlindungan pekerja yaitu Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Ekon) Airlangga Hartarto menegaskan bahwa pemerintah tidak mengabaikan perlindungan bila pekerja/buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum usia 56 tahun.
"Pemerintah memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak," ujar Airlangga, dalam keterangan pers, Senin (14/02/2022), dikutip dari setkab.go.id.
Airlangga menjelaskan, JHT merupakan perlindungan pekerja/buruh untuk jangka panjang, sedangkan JKP merupakan perlindungan pekerja/buruh untuk jangka pendek.
Baca juga: Presiden FSPMI Desak Aturan Baru terkait JHT Dicabut, Menaker Diberi Waktu 2 Minggu
Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan, bagi pekerja formal terlindungi dengan JKP, yang merupakan program jaminan sosial baru dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) untuk melindungi pekerja/buruh yang terkena PHK agar tetap dapat mempertahankan derajat hidupnya sebelum masuk kembali ke pasar kerja.
“Klaim JKP efektif per tanggal 1 Februari 2022, ini mulai diberlakukan, dan JKP adalah perlindungan jangka pendek bagi pekerja/buruh karena langsung mendapatkan manfaat seketika saat berhenti kerja. Penambahan program JKP tidak mengurangi manfaat program jaminan sosial yang sudah ada. Saya ulangi, JKP tidak mengurangi manfaat jaminan sosial yang sudah ada,” terangnya.
Selain itu, iuran Program JKP tidak akan membebani pekerja dan pemberi kerja karena besaran iuran JKP sebesar 0,46 persen dari upah berasal dari pemerintah pusat.
Menko Ekon memaparkan, pekerja/buruh yang mengalami PHK berhak memperoleh manfaat JKP berupa uang tunai sebesar 45 persen upah di bulan ke-1 sampai dengan ke-3 dan kemudian 25 persen upah di bulan ke-4 sampai dengan ke-6.
Baca juga: Mengenal 6 Jenis Program Jaminan Sosial: JKN, JKK, JHT, JP, JKM hingga JKP
“Sebagai contoh, kalau mendapatkan PHK di tahun kedua, itu dengan gaji misalnya sebesar Rp5 juta, maka akan diberikan 45 persen dari Rp5 juta adalah Rp2,25 juta, dikali tiga bulan berarti Rp6,75 juta. Sedangkan bulan ke-4 sampai ke-6 adalah 25 persen dari Rp5 juta atau Rp1,25 juta, dikali tiga adalah Rp3,75 juta, sehingga mendapatkan Rp10,5 juta,” jelasnya.
Sedangkan dengan mekanisme yang lama, lanjut Menko Ekon, penerima manfaat memperoleh 5,7 persen dari Rp5 juta atau Rp285 ribu dikali 24 bulan sehingga totalnya adalah Rp6,84 juta dan tambahan 5 persen pengembangan selama dua tahun sebesar Rp350 ribu, sehingga total yang didapatkan sebesar Rp7,19 juta. Dari perbandingan tersebut, terlihat manfaat JKP lebih besar dari yang diterima berdasarkan regulasi sebelumnya.
“Secara efektif, regulasi ini memberikan Rp10,5 juta (lebih besar) dibandingkan Rp7,19 juta,” imbuhnya.
Selain itu, dengan JKP pekerja/buruh yang mengalami PHK juga memperoleh manfaat berupa akses informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan serta pelatihan kompetensi kerja melalui lembaga pelatihan milik pemerintah, swasta, maupun perusahaan.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Widya Lisfianti)