Menteri Sofyan Djalil Akui Anak Buahnya Dipenjara Akibat Sengketa Tanah dengan Kementerian
Sofyan Djalil menceritakan kasus tersebut akibat wilayah tanah yang tiba-tiba diklaim menjadi kawasan kehutanan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Penulis: Lendy Ramadhan
Editor: Srihandriatmo Malau
Laporan Wartawan Tribun-Video, Lendy Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengungkap anak buahnya pernah dipenjara akibat persoalan sengketa tanah dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hal tersebut dinyatakannya dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di gedung DPR RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (17/2/2022).
Sofyan Djalil menceritakan kasus tersebut akibat wilayah tanah yang tiba-tiba diklaim menjadi kawasan kehutanan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pihaknya sudah mengurus perkara tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan menang.
Namun, anak buahnya sudah terlanjur dipenjara akibat divonis bersalah karena dianggap mengeluarkan sertifikat di kawasan kehutanan.
Padahal menurutnya kawasan yang disengketakan tersebut bukan wilayah kehutanan.
Sementara itu Komisi II DPR RI mengeluhkan penyelesaian sengketa pertanahan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil.
Keluhan itu disampaikan dalam rapat kerja Komisi II DPR yang digelar di gedung DPR RI, Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (17/2/2022).
Salah satu keluhan yang muncul dalam Rapat yang dipimpin Syamsurizal itu adalah sengketa antara tanah yang dimiliki dengan warga dengan PT. Pertamina.
Dalam rapat tersebut, Menteri Sofyan Djalil berjanji akan menyelesaikan sengketa pertahanan yang disampaikan para anggota DPR RI dalam rapat tersebut.
Sofyan Djalil mengaku, jumlah bidang tanah yang dalam sengketa mencapai ratusan ribu.
Soroti 122 Kasus Konflik Tanah Ditolak Kementerian ATR/BPN
Ketua Panitia Kerja (Panja) Mafia Tanah Komisi II DPR RI Junimart Girsang menyoroti 122 kasus konflik pertanahan yang ditolak oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di tahun 2021.
Alasannya, kasus tersebut bukan kewenangan Kementerian ATR/BPN, melainkan kewenangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pasalnya 122 kasus itu, meliputi konflik sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat dengan kawasan hutan.
"Kementerian ATR BPN harus menunjukan kita punya hak. Jadi jangan dilempar ke KLHK."
"Laporan-laporan begini yang banyak kami terima di DPR ini, tanah sudah dimiliki masyarakat dan sudah bersertifikat tiba-tiba jadi kawasan hutan."
"Kok bisa surat dari KLHK meniadakan sertifikat tanah yang merupakan dokumen negara," kata Junimart dalam rapat kerja bersama Menteri ATR BPN Sofyan Djalil, Selasa (18/1/2022).
Menurut Junimart, tidak ada alasan bagi ATR BPN untuk menolak kasus konflik pertanahan tersebut.
Sekalipun BPN hanya memiliki kewenangan sebesar 33 persen dari seluruh tanah di Indonesia dan KLHK memiliki kewenangan seluas 67 persen.
"Tentang konflik yang Pak menteri sebutkan, konflik pertanahan kewenangan ATR dan kewenangan KLHK, saya tidak setuju dengan istilah Pak Menteri. Kalau alasannya karena mereka (KLHK) punya kewenangan 67 persen, lama-lama habis tanah kita," ucap Junimart.
Oleh karena itu, Junimart menyatakan pihaknya akan segera melakukan rapat gabungan yang menghadirkan Menteri LHK dan Menteri ATR/BPN untuk melakukan pembahasan dan penyelesaian terkait banyaknya konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan KLHK.
"Atas masalah ini kami akan mengundang Kementerian ATR BPN dan KLHK dalam rapat gabungan, ini harus clear, hak rakyat adalah hukum tertinggi. Jadi tidak ada lagi pemukiman masyarakat yang sudah dihuni puluhan tahun secara turun temurun tiba-tiba bisa di klaim menjadi kawasan hutan," ujarnya.
Sebelumnya dalam rapat kerja itu, Menteri ATR BPN Sofyan Djalil memaparkan sepanjang tahun 2021, pihaknya telah menangani sebanyak 751 kasus konflik pertanahan.
"Sebanyak 319 kasus di antaranya ditindak lanjuti, sedangkan 310 belum bisa ditindaklanjuti dan 122 kasus terpaksa tidak dapat ditindaklanjuti atau ditolak karena bukan kewenangan ATR BPN melainkan kewenangan dari KLHK. Sedangkan dari 319 kasus yang ditindaklanjuti ditemukan diantaranya sebanyak 63 kasus mafia tanah," ujar Sofyan Djalil saat memberikan pemaparannya.
Atas kesepakatan bersama rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR bersama Kementerian ATR BPN itu, diagendakan kembali dilanjutkan pada 14 Februari 2022 mendatang.
Guna pendalaman atas pemaparan menteri ATR BPN menyangkut penanganan masalah pertanahan dan tentang Bank Tanah.(*)