Direktur Eksekutif JMM: Media Sosial Jadi Arena Pertarungan Ideologi
Penyebaran paham dan ideologi radikal atau radikalisme agama masih menjadi ancaman serius dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyebaran paham dan ideologi radikal atau radikalisme agama masih menjadi ancaman serius dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Radikalisme dapat menjadi embrio lahirnya ekstrimisme bahkan terorisme.
Untuk itu dibutuhkan peran dan perhatian semua pihak dalam upaya menangkal ancaman tersebut ditengah tantangan era keterbukaan informasi saat ini.
Hal tersebut tertuang dalam seminar kajian penanggulangan radikalisme dan terorisme untuk menjaga keutuhan NKRI yang dilaksanakan Jaringan Muslim Madani (JMM) di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Kota Malang, Jawa Timur. Sabtu (19/2/2022).
Direktur Eksekutif JMM, Syukron Jamal mengungkapkan di era industri 4.0 yang ditandai dengan derasnya arus informasi ada fenomena baru yakni pergeseran penyebaran paham dan pemikiran pada dunia digital.
Di mana media sosial menjadi arena pertarungan ideologi dan paham (ghuzwatul Fikri) tidak terkecuali paham keagamaan.
Baca juga: Pedofilia Beraksi di Ambon, 5 Anak Akui Jadi Korban, JMM Minta Polisi Usut Tuntas
“Saat ini salah satu penyebaran ideologi yang massif adalah ideologi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri seperti radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme yang begitu nyata telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara," kata dia, dalam keterangannya, pada Sabtu (19/2/2022).
Syukron mengingatkan ideologi pemurnian keagamaan pendekatan radikal merupakan salah satu ancaman yang sangat serius bagi keberlangsungan suatu bangsa dan perlu disikapi secara bersama-sama oleh semua pihak.
Menurut Syukron santri merupakan garda terdepan dalam mengkampanyekan islam moderat untuk melawan gerakan paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme di Indonesia.
Baca juga: Pemerintah Temukan 27 ASN yang Terbukti Lakukan Tindakan Radikalisme
Santri harus bisa menangkal dan mencegah ideologi keagamaan yang mengajak kepada paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme.
"Kalau dulu para ulama datang ke Indonesia mengislamkan masyarakat, tetapi sekarang mereka para pembaharu datang ke Indonesia malah mengkafirkan yang sudah islam," ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, KH. Muhammad Nafi mengungkapkan peran santri wanita sangat penting terutama dalam melahirkan generasi penerus bangsa dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Santri wanita sangat prioritas untuk diberikan wawasan kebangsaan, karena peran wanita sangat penting sebagai Ibu dalam melahirkan generasi terbaik,".
Sementara itu, Wali Kota Malang Sutiaji mengungkapkan bahwasanya era informasi merupakan sebuah tantangan bagi generasi muda sebagai penerus bangsa dikarenakan saat ini Indonesia sudah menjadi primadona dunia.
Baca juga: Kepala BNPT: Akar Radikalisme dan Terorisme Karena Propaganda Paham Intoleran
Banyak pihak tidak senang jika kita maju, damai dan kondusif dengan menyebarkan berbagai ideologi merusak keutuhan bangsa.
“Jika Indonesia utuh maka menjadi ancaman dunia, maka mereka menciptakan agar keadaan tidak kondusif. Untuk itu kita mesti mempertegas bahwa NKRI, dasar negara dan UUD 1945 sudah final,” katanya.
Sutiaji mengingatkan agar generasi muda memperkokoh kepribadian atau karakter Indonesia dalam menangkal ideologi radikal.
“Gali informasi dan kuatkan literasi adalah salah satu bentuk untuk menguatkan jati diri kita sebagai generasi bangsa," tambahnya.
Kasubdit Kontra Naratif, Direktur Pencegahan Densus 88 Polri, Mayndra Eka Wardhana saat ini jaringan teroris sudah terbuka dan tidak tertutup seperti dahulu dalam merekrut anggotanya.
“Saat ini sejak Parawijayanto memimpin JI, perekrutan kader teroris secara terbuka dan berbanding terbalik saat JI dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, yang secara diam-diam,“ jelasnya.
Mayndra juga mengingatkan gerakan paham radikal sudah massif dan marak di berbagai kampus di Indonesia.
Mereka sejak 2010 menggunakan media sosial seperti FB, Twitter, Instagram dan Tiktok.
Senada dengan Mayndra, mantan napi teroris Hendi Suhartono mengungkapkan media sosial sangat berpengaruh dalam perekrutan orang menjadi teroris dan ini sudah dipergunakan dengan baik oleh kelompok teroris.
Baca juga: Polri Sebut Bukan Leading Sector Wacana Pemetaan Masjid untuk Cegah Radikalisme
"Bahkan mereka belajar tidak bertemu dengan para mentornya tetapi mereka belajar dari video-video yang tersebar di media sosial. Kita sekarang harus sangat waspada dengan percepatan informasi maka kita harus mengantisipasi dengan membuat batasan-batasan dalam memakai media," terang Hendi yang hadir secara virtual.
Hendi juga mengingatkan agar pemerintah serius melakukan program deradikalisasi agar para mantan napiter tidak kembali ke kehidupan sebelumnya.
“Program deradikalisasi sangat perlu digalakkan kembali dan sangat bermanfaat. Disana para mantan napiter diberikan belajar berbagai ilmu kehidupan yang baru, “pungkasnya.
Ditempat yang sama, Aktivis dan Dosen Universitas Negeri Malang, Muslihati menilai pentingnya mencegah paham radikalisme terhadap masyarakat terutama pada kalangan anak muda atau milenial.
Menurutnya radikalisme di kalangan milenial dapat dicegah sejak dini yang dimulai di lingkungan keluarga.
Dari rumah ajarkan anak kita tentang literasi keragaman dan multi budaya berbasis keluarga.
Baca juga: Komentar Reza Indragiri Soal Rencana Pemantauan dan Pemetaan Masjid: Batalkan Lebih Baik
Muslihati menambahkan bahwa keragaman bukan hanya dalam agama. Fitrah manusia, sambungnya, juga ditakdirkan beragam. Mulai dari warna kulit, suku, ras, dan golongan.
“Agama kalau Allah kehendaki Islam semua bisa. Tetapi tidak seperti itu mau Allah. Kita ada laki-laki wanita. Banyak keragaman yang membutuhkan respect, toleransi butuh respect, dan keragaman adalah rahmat,” terangnya.