MUI Sebut Pernyataan BNPT Soal Perubahan Strategi Jaringan Teroris Membuat Gaduh
Amirsyah Tambunan berpendapat pernyataan BNPT terkait perubahan strategi jaringan teroris dalam menyebarkan pemahaman radikal membuat gaduh.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan berpendapat pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait perubahan strategi jaringan teroris dalam menyebarkan pemahaman radikal membuat gaduh.
Amirsyah menyoroti sejumlah poin pernyataan Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris di antaranya yang mengatakan BNPT tidak bermaksud menuding sejumlah lembaga yang anggotanya ditangkap Densus 88 Antiteror sebagai organisasi teroris.
Ia juga menyoroti pernyataan Irfan bahwa teroris menyusup dan tidak langsung melancarkan aksi teror, melainkan berupaya menguasai lembaga tersebut termasuk di perguruan tinggi.
Baca juga: Viral Dituduh Mengcovidkan Pasien, RSUD Cipayung Buka Suara Beri Penjelasan
Baca juga: Misteri Kematian Pasutri di Klapanunggal, Istri Tewas Bersimbah Darah, Suami Tewas di Sumur
Amirsyah juga menyoroti pernyataan yang menyebutkan bahwa jaringan teroris tidak langsung melakukan aksi di pendidikan tinggi tapi melakukan proses-proses awal, misalnya pembaiatan, pengajian, dengan sangat disayangkan.
Menurutnya justru yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana penyusupan ke ormas bisa dicegah.
"Setelah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyampaikan permintaan maaf secara resmi tanggal 3 Februari 2022 di MUI, kali ini kembali membuat pernyataan yang membuat gaduh dan menyesalkan," kata Amirsyah saat dihubungi Tribunnews.com pada Senin (21/2/2022).
Terkait narasi tersebut, kata dia, harus dilakukan investigasi bersama sehingga ada fakta dan data seperti apa proses pembaitan, pengajian.
Dengan demikian, lanjut dia, fakta dan datanya menjadi jelas dan tidak meresahkan masyarakat.
Menurutnya keberhasilan penggulangan terorisme bukan pada penangkapan tapi pada pencegahan.
Karena pencegahan, lanjut dia, merupakan kewajiban pemerintah termasuk aparat penegak hukum berdasarkan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Baca juga: BNPT: Kelompok Teroris Mulai Ubah Strategi dalam Menyebarkan Paham Radikal
Baca juga: BNPT Gandeng Ulama Melawan Penyalahgunaan Narasi Keagamaan
Berdasarkan pasal 43 A (1), kata dia, Pemerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme.
Kemudian pada ayat (2), lanjut dia, dalam upaya pencegahan Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus yang dilandasi dengan prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian.
Selanjutnya pada ayat (3) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lanjut dia, dilaksanakan melalui: a. kesiapsiagaan nasional; b. kontra radikalisasi; dan c. deradikalisasi.
"Jadi ada logika hukum yang tidak masuk akal bagi pejabat BNPT. Atas dasar itu keberhasilan penanggulangan tindak pidana terorisme bukan pada penangkapan tapi pada pencegahan sehingga mengedepankan fungsi negara mindungi warga negara dari terorisme melalui deradikalisasi dan kontra radikalisasi," kata dia.
Diberitakan sebelumnya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan, ada perubahan strategi kelompok jaringan teroris dalam menyebarkan pemahaman radikal.
Hal ini terlihat dari adanya serangkaian penangkapan terduga teroris di beberapa lembaga, partai Islam dan ormas Islam belakangan ini.
Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, perubahan strategi itu buntut dari seruan mantan Pimpinan ISIS Abu Bakr al-Baghdadi sebelum meninggal dunia.
"Ini perubahan strategi mereka setelah Abu Bakr Al-Bagdhadi mengumandangkan, menginstruksikan kepada simpatisan, pendukung, militan, dan kelompok inti karena ada 4 kelompok kalau diklasifikasikan," kata Irfan saat acara sharing session di Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (18/2/2022).
Adapun dalam seruan itu kata Irfan, Abu Bakr al-Baghdadi menyebut kalau para kelompok inti yang dimaksud bisa menyebarkan pola aksi teror tanpa harus pergi ke Suriah.
Melainkan bisa dilakukan di masing-masing negara dengan terpusat di Poso, Sulawesi Tengah dan di negara Filipina.
"Mereka yang terjerat dan terpapar paham radikal untuk melakukan pola aksi untuk jangan semuanya harus ke Suriah, silakan beraksi di Negeri sendiri dan direncanalan untuk dipusatkan di Poso atau Filipina," kaya Irfan.
Hanya saja rencana tersebut gagal karena pimpinan jaringan MIT sekaligus pendukung ISIS di Poso yakni Santoso tewas lantaran berhasil ditangkap dan dieksekusi mati.
Atas hal itu kata Irfan, BNPT tidak pernah melabeli suatu lembaga Islam atau organisasi Islam bahkan lembaga pendidikan yang ada keterlibatannya dengan penangkapan teroris oleh Densus 88, sebagai lembaga pendukung teroris.
Sebab kata dia, kini kelompok jaringan teroris bisa berkembang melalui beragam cara dengan beragam nama identitas dengan cara menyusupi suatu lembaga dan tidak langsung melakukan kegiatan teror.
Baca juga: Densus 88 Ambilalih Kasus Pelemparan Bom Molotov di Pos Lantas Kolong Tol Jatiwarna Bekasi
Para kelompok teror kata Irfan, akan menyusupi lembaga dengan cara misalnya pembaiatan, pengajian, dan menggunakan istilah-istilah yang biasa masyarakat umum lakukan.
"Kita jangan terjebak dengan simbol-simbol fisik, karena mereka intoleran, menghalalakan segala cara, menolak NKRI, Pancasila dan ingin merubah negara bangsa menjadi negara agama dengan sebuah ideologi khilafah yang mereka sendiri tidak pahami secara komprehensif," tukas Irfan.