Soal Wacana Penundaan Pemilu, Pakar Hukum: Pembangkangan Konstitusi
Wacana penundaan Pemilu 2024 yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan jabatan publik tidak sejalan dengan spirit konstitusi.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan jabatan publik tidak sejalan dengan spirit konstitusi.
Pernyataan itu disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid.
Dia meminta agar diskursus imajiner mengenai menunda Pemilu yang tentunya berimplikasi pada tatanan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan publik lainya diahiri.
Sebab, kata dia, wacana itu adalah sangat tidak bermuatan maslahat, malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara
“Usulan penundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience atau pembangkangan terhadap Konstitusi,” ujar Fahri Bachmid, dalam keterangan tertulisnya, pada Minggu (27/2/2022).
Dia menjelaskan, jika dilihat dari berbagai alasan serta justifikasi yang coba dikemukakan pengusul penudaan Pemilu, secara teoritik maupun konstitusional tidak ada jalan yang disediakan oleh UUD 1945 dan tidak berangkat dari “reasoning” yang memadai.
Baca juga: Klaim Terima Aspirasi Jokowi 3 Periode dari Petani Siak, Airlangga Mengaku Siap Menampung
Sebab hal itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.
Misalnya secara objektif negara dalam keamanan atau ketertiban hukum diseluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam pemberontakan, kerusuhan- kerusuhan atau akibat bencana alam.
Sehingga, kata dia dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; atau timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; atau gangguan keamanan yang berdampak holistik
Hal ini berdasarkan Perpu No. 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya atau berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat).
"Sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku, berdasarkan ajaran hukum suatu keadaan darurat negara (state of emergency),” paparnya.
Baca juga: Ketum Parpol Lempar Wacana Jokowi Tiga Periode, Jokpro: Akhirnya Bukan hanya Mimpi di Siang Bolong
Jika memang alasan itu ada, Fahri mengatakan, maka presiden mendasarkan diri pada prinsip proporsionalitas (the principle of proporsionality) yang dikenal dalam hukum internasional, Prinsip ini dianggap sebagai “the crus of the self defence doctrine” atau inti dari doktrin Self Defence.
Secara inheren prinsip proporsionalitas dianggap memberikan standar mengenai kewajaran (standard of reasonabeleness).
“Sehingga kriteria untuk menentukan adanya “necessity” menjadi lebih jelas, kebutuhan yang dirumuskan sebagai alasan pembenar untuk melakukan tindakan yang bersifat darurat, proporsional, wajar atau setimpal sehingga tindakan dimaksud tidak boleh melebihi kewajaran yang menjadi dasar pembenaran bagi dilakukannya tindakan itu sendiri,” katanya.
Disampaikan Fahri, prinsip “necessity”termasuk mengambil dan menetapkan beleeid tertentu, yang salah satunya adalah opsi Dekrit dengan segala konsekwensinya, baik politik maupun hukum, untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Dengan demikian, konsep usulan penundaan Pemilu yang disampaikan oleh interest group tersebut setelah ditelaah secara mendalam dan cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran serta berakibat terjadinya pembangkangan secara terbuka terhadap konstitusi.
“Dan lebih jauh mempunyai daya rusak yang sangat elementer, dan destruktif terhadap perkembangan konsolidasi demokrasi konstitusional yang telah diatur dalam konstitusi,” paparnya.
Menurut Fahri, dalam sebuah negara demokrasi konstitusional, setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara adalah sesuatu yang generik.
Tetapi, kata dia, harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan negara. Dan idealnya harus berangkat dari spirit sebagai negarawan sejati.
Dia menjelaskan, secara filosofis, adagium hukum yang menegaskan bahwa “ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat disitu ada hukum, keberadaan hukum pada masyarakat merupakan instrumen penting untuk menciptakan ketertiban di masyarakat karena dalam suatu lingkungan sosial
Di mana hubungan relasi antar sesama manusia sering menimbulkan potensi konflik antar kepentingan masyarakat tersebut, yang keberadaannya menjadi sangat penting.
"Oleh sebab itu, sebagai alat “Tool” untuk menjaga dan menjamin adanya ketertiban sosial, maka ketaatan terhadap hukum (konstitusi) wajib untuk dilaksanakan," tuturnya.
Baca juga: Cak Imin Minta Pemilu Ditunda 2 Tahun, Perindo: Tidak Mungkin, Presiden Tak Tertarik 3 Periode
Secara doktrinal, Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, tentunya menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang supreme, serta wajib untuk dilaksanakan, bukan untuk diperdebatkan yang pada ahirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri, “Constitution Disobedience”.
“Pada hakikatnya UUD NRI Tahun 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul,” tambahnya.
Fahri berpendapat, usulan penundaan Pemilu ini tentunya tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi, sehingga tentunya menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri, dengan demikian usulan itu hanya dapat dipandang sebagai “Ius constituendum”
atau konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi,
“Sebagai sebuah negara hukum, kita wajib menjunjung tinggi hukum dan konstitusi “UUD NRI Tahun 1945 atau “Ius constitutum”
Bahwa pelembagaan Pemilu telah didesain sedemikian rupa dalam kesisteman UUD 1945, agar prinsip kedaulatan rakyat secara esensial dapat disalurkan secara “fixed term” demi tercipta suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, serta tertib demi mencapai tujuan negara yang sesungguhnya,” tambahnya.
Fahri berpendapat bahwa hal ini telah terkonfirmasi melalui rumusan-rumusan teks konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), yang diatur bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” selanjunta disebut bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Baca juga: Wacana Jokowi 3 Periode, GMKI Minta Pemerintah Tetap Fokus Kerja
Kemudian ketentuan selanjutnya adalah Pasal 2 ayat (1) yang rumusanya adalah “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”
Selanjutnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden, secara limitatif dan definitif juga telah diatur dalam ketentuan norma pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 mengatur secara “expressis verbis” bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Selanjutnya ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan selanjutnya ketentuan berikutnya mengatur bahwa
“Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional “suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan Publik yang di isi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. Sebab tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu.
Menurut dia, jika memang dipandang perlu dan penting untuk harus diatur suatu mekanisme serta jalan keluar konstitusional jika terjadi keadaan hukum Krisis konstitusional “Constitutional crisis” jika Pemilu tidak terselengara sebagaimana perintah konstitusi karena terjadi beberapa keadaan seperti terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan, bencana alam dan lain-lain.
Sehingga berakibat pada tidak terselenggaranya pelaksanaan Pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu, sehingga perlu di fikirkan untuk diberikan kewenagan atributif kepada MPR untuk dapat menetapkan penundaan Pemilu sampai pada batas waktu tertentu.
Baca juga: Tingkat Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, Jokpro: Linear dengan Keinginan Lanjutkan 3 Periode
“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.
Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini dengan alasan-alasan Penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen.
Asumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada) ditengah pendemi pada tahun 2020. Dan secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “Staatsnoodrecht” atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “Overmacht atau Force Majeure”.
“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal 22E. Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif, dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945 melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya lebih kredible,“ katanya.
Diberitakan sebelumnya, diskursus penundaan Pemilu diusulkan Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan diamini oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.
Alasan mereka menyuarakan penundaan Pemilu beragam alasan. Mulai dari situasi perekonomian negara sedang sulit dan beberapa implikasi lainya, pendemi yang sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir, rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan, sehingga sekelompok masyarakat ada yang meminta diperpanjang tiga periode, dan yang terakhir soal invasi Rusia vs Ukraina.