MAKI Ingin KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Kapal Tongkang Rp240 M yang Diduga Libatkan Kakak Bupati PPU
(MAKI) menginginkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan penanganan perkara dugaan korupsi di BPD Kaltim-Kaltara senilai Rp240 miliar
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menginginkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan penanganan perkara dugaan korupsi di BPD Kaltim-Kaltara senilai Rp240 miliar.
Kasus tersebut diduga melibatkan kakak Bupati nonaktif Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas'ud, Hasanuddin Mas’ud.
Abdul Gafur Mas'ud diketahui telah dijerat KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Pemerintahan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menerangkan, modus dugaan korupsi tersebut dilakukan melalui model kredit fiktif untuk membuat kapal tongkang dan tugboat.
"MAKI telah melakukan pengawalan laporan dugaan korupsi ini dalam bentuk telah berkirim surat kepada KPK berisi desakan penuntasan penanganan perkara dugaan korupsi ini dan siap mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK apabila kemudian penanganan perkara ini mangkrak dan lemot," kata Boyamin dalam keterangan resmi, Senin (7/3/2022).
Dugaan korupsi yang dimaksud MAKI yakni sebuah perusahaan yang bergerak di bidang transportasi mendapat kucuran dana Rp258 miliar dari BPD Kaltim.
Baca juga: KPK Didesak Periksa Hasanuddin Masud, Kakak Bupati Nonaktif Penajam Paser Utara Abdul Gafur Masud
Padahal usia perusahaan itu baru berusia 5 bulan.
"Kendati baru berusia 5 bulan, PT HBL milik Hasanuddin Mas’ud, tanpa jaminan yang memadai, mendapat guyuran fasilitas kredit investasi dari BPD Kaltim sebanyak Rp235,8 miliar," ungkapnya.
"Dapat dicairkan sekaligus lantaran bersifat nonrevolving, dengan bunga 11,5% secara periode per bulan sampai dengan jatuh tempo 84 bulan tertanggal 3 Mei 2018. Termasuk grace period 12 bulan," imbuh Boyamin.
Boyamin mengungkapkan peruntukkan uang sebesar Rp235,8 miliar itu.
Dikatakannya, kredit diajukan untuk pembiayaan pengadaan kapal baru, yakni 10 unit tugboat dan 10 unit kapal tongkang berukuran 300 feet.
Namun, ketika mengajukan kredit, diduga tidak ditemukan perjanjian perusahaan penerima kredit dengan perusahaan pembuat kapal.
"Hanya mendasari pada rencana anggaran biaya yang diperoleh dari si pembuat kapal," kata Boyamin.
Menurut Boyamin, pengajuan kredit diduga tidak didukung study kelayakan (FS) yang masih dalam tahap penyusunan dan analisa kelayakan proyek oleh sebuah konsultan.