Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Paling Banyak Terjadi di Jabar, Disusul Jatim dan Jawa Tengah
Kenaikan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) sebanyak 52 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2022. Pada laporan tersebut mencatat terjadi kenaikan kasus berbasis gender (KBG) terhadap perempuan sebanyak 12 persen.
Lonjakan ini bersumber pada data Komnas Perempuan, lembaga layanan dan Badan Peradilan Agama (Badilag).
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah menjelaskan berdasarkan data secara keseluruhan, ada sekitar 338.496 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021.
Sedangkan dari data Badilag, terjadi kenaikan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP) sebanyak 52 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Yang tadinya 215.694 di 2020 menjadi 327.629 di tahun 2021. Per harinya adalah 1.246 kasus.
Terjadi juga peningkatan pengaduan ke Komnas Perempuan sebanyak 80 persen. Per harinya, ada 16 pengaduan yang masuk ke Komnas perempuan.
Alimatul pun memaparkan 10 provinsi dengan kekerasan berbasis gender pada perempuan terbanyak.
"Ada 10 provinsi dengan kekerasan berbasis gender terbanyak. Memang dengan pulau yang penduduknya terbanyak itu yang ini," ujar Alimatul dalam acara launching Catatan Tahunan 2022 Komnas Perempuan secara virtual, Senin (7/3/2022).
Baca juga: Aktivis: Indonesia Belum Memiliki Budaya Anti-kekerasan
Jika diurutkan, pertama adalah Jawa Barat sebesar 58.395 kasus. Urutan kedua, Jawa Timur ada 54.507 kasus, ketiga Jawa Tengah ada 52.697 kasus.
Lalu keempat Sumatera Utara sebanyak 17.081 kasus.
Kemudian kelima, DKI Jakarta ada 14.863 kasus. Keenam, Sulawesi Selatan sebesar 14.975 kasus.
Ketujuh, Lampung sebanyak 12.260 kasus. Kedelapan, Riau sebanyak 12.017 kasus.
Kesembilan Sumatera Selatan sebesar 10.083 kasus. Dan terakhir Sumatera Barat ada 9237 kasus.
Namun, pada Sumatera Barat (Sumbar) meski bukan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, kasus kekerasan cukup banyak ditemukan. Sehingga Sumbar masuk kedalam 10 besar.
Berbeda dengan Banten yang berada dalam peringkat 10 besar penduduk terbanyak. Namun tidak masuk dalam 10 besar provinsi dengan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
"Yang berbeda hanya Banten dan Sumatera Barat. Dimana Sumatera Barat masuk 10 besar, sedangkan jumlah penduduk terbanyak Banten masuk 10 besar," paparnya lagi.
Menurut Alimatul, jika dibandingkan dengan tahun kemarin data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan tidak jauh berbeda.
Namun ada juga 10 kemajuan dalam kebijakan perlindungan perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan yang pertama terkai pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadlian bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.
Kemudian ada surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Berikutnya peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Keempat, surat Edaran Kepala BKN Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual dan Perundungan (Bullying).
Kelima, petunjuk Teknis (Juknis) B/13/72/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021 tentang Penyempurnaan Juknis Pemeriksaan Uji Badan.
Juknis menjadi jaminan bahwa TNI AD tak akan melakukan uji kesehatan pemeriksaan hymen.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Kekerasan di Lapas Narkotika Yogyakarta Kerap Terjadi Saat Proses Bersih-bersih
Keenam, pembentukan call center SAP 129.
"Termasuk kebijakan Daerah Kondusif bagi Perlindungan Perempuan di Kabupaten Majalengka Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Jawa Kota Palangka Raya, Kabupaten Badung, Kota Palu, Kota Bekasi, Provinsi DKI Jakarta," ujar Siti.
Selanjutnya kemajuan juga muncuk dalam pelayanan Dokumen Administrasi Kependudukan (Adminduk) bagi Kelompok Rentan termasuk Transpuan.
Kesembilan, dari 49 PTKI, seluruhnya sudah memiliki SOP tentang PPKS dan 23 SOP PPKS sudah disahkan dengan SK Rektor sebagai Pelaksanaan Surat Keputusan Dirjen No 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
"Terakhir dikabulkannya Uji Formil UU Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Siti.
Pemicu Cerai
Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI Dr Drs H Aco Nur SH MH menyebut ada beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan yang mengakibatkan perceraian.
Berdasarkan pada Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, kekerasan tersebut terbagai dalam empat bentuk. Yaitu kekerasan fisik, psikis atau emosional, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
"Dari beberapa bentuk kekerasan tersebut menjadi alasan perCaian yang diajukan di Peradilan Agama 2021," ujar Aco.
Terkait rincian data, ada 484,734 perkara perceraian.
Baca juga: Ancaman Kekerasan Seksual Lewat Game Daring Harus Diakhiri
Urutan pertama penyebab perceraian karena perselisihan terus menerus terjadi sebanyak 279.548.
Posisi kedua, faktor ekonomi terjadi sebanyak 113.440 perkara.
Ketiga, meninggalkan salah satu pihak sebanyak 42.441 perkara.
Di sisi lain, persentase perkara perceraian berdasarkan tingkat didominasi oleh sekolah menengah atas (SMA) ke bawah yakni 87,02 persen dari total perkara.
"Tingkat pendidikan 1, tidak sekolah, tidak tamat SD 0,74 persen. Kedua, SD 21,62 persen. 3, SMP, 25,08 persen. SMA, 39,59 persen," papar Aco.
Oleh karena itu ia menyebutkan pencegahan yang dapat dilakukan pertama adalah upaya meningkatkan taraf pendidikan oleh pemerintah.
Kedua, upaya meningkatkan kualitas ekonomi dengan menyediakan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Ketiga, pencegahan pernikahan dini secara formal dan non formal.
Keempat, sosialiasi perkawinan kepada masyarakat. Dan terakhir yaitu peningkatan layanan kesehatan masyarakat.(Tribun Network/ais/wly)