Deretan Kritik soal Putusan MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Penjara
Berikut deretan kritik soal putusan MA yang memangkas hukuman Edhy Prabowo dari sembilan tahun penjara menjadi lima tahun penjara.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk memangkas hukuman mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi lima tahun pada tingkat kasasi.
Pada tingkat banding, Edhy Prabowo divonis sembilan tahun penjara atas kasus suap terkait izin budidaya lobster dan izin ekspor benih bening lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara 5 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta,” demikian bunyi putusan MA.
Selain itu, dikutip dari Tribunnews, MA juga turut mengurangi pencabutan hak politik Edhy Prabowo itu dari tiga tahun menjadi dua tahun.
Hukuman tersebut dihitung setelah Edhy Prabowo menjalani masa kurungan.
Sementara dalam pertimbangannya, hakim memutuskan untuk memberikan pengurangan masa hukuman terhadap Edhy Prabowo dengan alasan telah bekerja sebagai Menteri KP dengan baik.
Edhy dianggap memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan.
“Terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sudah bekerja dengan baik dan memberikan harapan kepada nelayan,” tulis putusan tersebut.
Banjir Kritik soal Putusan MA Potong Hukuman Edhy Prabowo
Putusan oleh MA terhadap Edhy ini pun dibanjiri kritik oleh sejumlah pihak.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel pun mempertanyakan logika putusan MA tersebut.
“Bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?,” ujarnya, Kamis (10/3/2022) dikutip dari Kompas.com.
Selain itu, menurut Reza, perbuatan korupsi malah menurunkan kepuasan kerja sehingga ketika kepuasan kerja turun maka akan berdampak kepada kinerja yang anjlok.
“Korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif. Konsekuensinya performa akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi,” kata Reza.
Baca juga: MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun, Pengamat: Secara Hukum Itu Tidak Benar
Baca juga: MA Potong Hukuman Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowodari 9 Tahun Jadi 5 Tahun Penjara
Reza menambahkan korupsi yang dilakukan oleh pejabat harus diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya.
Menurutnya, intergritasi adalah elemen mutlak dalam penilaian kinerja seorang pejabat publik.
“Selama elemen itu belum terpenuhi maka elemen-elemen lainnya tak lagi menentukan,” tuturnya.
Sementara perilaku Edhy melakukan korupsi, menurut Reza, adalah sebuah tanda di mana komitmen rendah yang dimiliki Edhy pada organisasi yang dipimpinnya.
“Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin dirinya sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya?”
“Jadi kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasi dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi,” imbuhnya.
Kritik juga dilontarkan oleh Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur.
Dikutip dari Kompas.com, Isnur menilai alasan putusan MA adalah salah.
“Ada kekeliruan dalam argumentasi itu, sebab justru ketika menjadi menteri lah dia melakukan kejahatan korupsi,” ujar Isnur.
Selain itu, menurut Isnur, putusan tersebut menunjukkan lembaga hukum tertinggi di Indonesia itu tidak memiliki semangat yang sama dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Hal tersebut dikarenakan dalam UU tersebut, korupsi dinyatakan sebagai kejahatan serius.
“Sementara MA menggambarkan bahwa korupsi adalah pidana yang ringan dan tidak menunjukkan bahwa ini berdampak pada bangsa,”
Bahkan, kata Isnur, seharusnya MA memperberat hukuman pidahan Edhy.
Baca juga: ICW Nilai Alasan MA Korting Hukuman Edhy Prabowo Karena Baik Saat Jadi Menteri Absurd
Dirinya pun menyatakan adanya indikasi tren baru di dalam MA untuk memberikan keringanan pada pelaku korupsi.
Isnur juga menganggap tren itu kian tampak setelah Artidjo Alkostar tidak lagi duduk sebagai hakim agung.
“Setelah Pak Artidjo pensiun kita melihat ada semacam perubahan semangat di MA dengan memberikan putusan ringan atau membebaskan terdakwa perkara korupsi,” jelasnya.
Tak ketinggalan, kritik juga dikatakan oleh pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Menurutnya, MA harus melihat kasus yang menimpa Edhy dari segi jabatannya sebagai menteri.
Hadjar menilai jabatan tersebut seharusnya menjadi faktor pemberat dalam perkara korupsi Edhy ini.
“Jika MA mempertimbangkan kinerja seseorang ketika menjabat dalam jabatan publik sebagai menteri, dalam kasus Edhy Prabowo maka seharusnya jabatan itu menjadi faktor yang memberatkan hukuman,” ujar Hadjar.
Dari segi hukum, kata Hadjar, orang yang menduduki jabatan publik sebagai menteri harus melahirkan kewajiban dan memberikan yang terbaik kepada masyarakat.
Lalu, lanjutnya, menteri diangkat oleh presiden dan digaji oleh rakyat karena pendapatan negara berasal dari pajak rakyat.
“Ketika dia melakukan korupsi dalam jabatannya,sesungguhnya itu justru merupakan suatu pengkhianatan terhadap tugas dan kewajiban kepada negara dan rakyat,” tuturnya.
Kemudian, Hadjar mengatakan MA sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indoensia memiliki kewenangan mengurangi atau menambah hukuman.
Sementara, hukuman adalah konteks yuridis dari konsekuensi perbuatan seseorang.
Hadjar menambahkan, masa dan bentuk hukuman itu dibatasi oleh pasal-pasal yang dilanggar, atau ketentuan-ketentuan hukum pidana.
“Hakim dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tidak boleh memberikan hukuman melebihi batas maksimal dari hukuman dalam sebuah ketentuan.”
“Bahwa ada pengurangan atau penambahan hukuman itu memang kewenangan lembaga peradilan,” kata Hadjar.
Diketahui, pada pengadilan tingkat pertama, Edhy dijatuhi vonis limat tahun penjara dan dendan senilai Rp 400 juta subsider 6 buln kurungan.
Ia pun juga dijatuhi pidana pengganti senilai Rp 9,68 miliar dan 77.000 dolar AS.
Lalu, kuasa hukum Edhny pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Baca juga: Hukuman Eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo Dikorting Jadi 5 Tahun Penjara
Namun PT Jakarta justru memperberat hukuman Edhy menjadi sembilan tahun penjara.
Tak menyerah, Edhy pun mengajukan kasasi ke MA.
Selanjutnya pada putusan kasasi tersebut, pengajuan Edhy pun dikabulkan oleh tiga majelis kasasi MA yaitu Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih dengan memangkas hukuman Edhy menjadi 5 tahun penjara pada Senin (7/3/2022).
Hanya saja, Edhy tetap dihukum pidana uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar serta 77.000 dolar AS atau sekira Rp 1,09 miliar.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)(Kompas.com/Aryo Putranto Saptohutomo/Tatang Guritno)
Artikel lain terkait OTT Menteri KKP