Polemik Pemekaran di Papua, Yorrys Nilai Pemerintah Perlu Komunikasikan Kebijakan Secara Intensif
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai menilai kondisi sosial dan politik di Tanah Papua cenderung mengalami peningkatan eskalasi yang cukup signifikan
Penulis: Reza Deni
Editor: Wahyu Aji
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai menilai kondisi sosial dan politik di Tanah Papua cenderung mengalami peningkatan eskalasi yang cukup signifikan.
"Terutama, setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua, meski dua Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan implementasi dari UU tersebut sudah diterbitkan," kata Yorrys usai melakukan kunjungan ke DPR Papua, Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, dan Sentani, Jumat (11/3/2022).
Namun, selain isu tentang Otonomi Khusus Jilid II yang secara umum masih menuai polemik, salah satu poin di dalamnya yang mengamanahkan tentang pemekaran daerah, pun sedang menuai perdebatan di tengah masyarakat.
Baca juga: Siang Ini Amnesty Internasional - Komnas HAM Gelar Audiensi Persoalan Papua
Yorrys menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah pusat menyosialisasikan isu-isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif.
"Berbagai perbedaan pandangan tentang UU Otonomi Khusus Jilid II maupun PP turunan dari UU tersebut harus dikomunikasikan dengan baik dan bijak," kata dia.
Sebab, menurut Yorrys, baik pemerintah pusat maupun masyarakat Papua sesungguhnya berkeinginan sama, yakni menghadirkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu yang terabaikan.
“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan telah menjelma menjadi situasi yang kontraproduktif yang justru menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang dikorbankan”, ungkap Yorrys.
Dia memandang pentingnya saat ini untuk berfokus pada penyusunan Perdasi dan Perdasus yang merupakan turunan dari PP yang telah dihasilkan oleh Pemerintah Pusat.
Perdasi dan Perdasus itulah, dikatakan Yorrys, yang nantinya menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Jilid II berjalan konsisten.
Keduanya pun merupakan rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk secara bersama melihat perkembangan lanjutan dari berbagai hasil kebijakan.
Baca juga: Penjelasan Pemprov Papua Terkait Keluarnya Usman Hamid dari Tim Advokasi Lukas Enembe
“Seperti halnya kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi," kata dia
Yorrys memahami bahwa perubahan kebijakan ini tidaklah mudah dilakukan. Menurutnya, akan banyak penentangan dan penolakan serta penerimaan.
"Namun semuanya harus didialogkan dengan komprehensif. Sebab persoalan Papua bukanlah persoalan baru, namun persoalan yang sudah berlangsung selama rentang waktu puluhan tahun. Menyelesaikannnya pun tidak mungkin dalam waktu singkat seperti membalik telapak tangan," kata dia