Hakim Konstitusi Suhartoyo Soroti Kedudukan Hukum dan Kasus Konkret Pemohon Uji UU Perkawinan
Mahkamah Konstitusi tidak menilai kasus konkretnya melainkan kasus konkret dikaitkan dengan kerugian hak konstitusional.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti kedudukan hukum dan kasus konkret dalam permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam sesi pemberian masukan oleh hakim, Suhartoyo berpendapat bahwa kedudukan pemohon sumir dalam menjelaskan keterkaitan pemohon prinsipal yakni E Ramos Petege dengan kasus konkret yang dialaminya.
Memang Mahkamah Konstitusi tidak mengadili kasus konkret, lanjut dia, tapi kasus konkret bisa mengantarkan seseorang mendapatkan penguatan tentang kedudukan hukum di dalam mengajukan permohonan tersebut.
Selain itu, kata dia, Mahkamah Konstitusi tidak menilai kasus konkretnya melainkan kasus konkret dikaitkan dengan kerugian hak konstitusional.
Menurutnya, sangat dimungkinkan dan sangat beralasan jika permohonan berangkat dari kasus konkret.
Namun demikian, menurutnya pemohon kurang detil dalam menjelaskan kasus konkretnya.
Hal tersebut disampaikannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara nomor 24/PUU-XX/2022 di MK yang disiarkan di kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (16/3/2022).
"Itu sebenarnya bisa digambarkan lebih detil, di mana kemudian terhambatnya untuk tidak bisa melaksanakan perkawinan," kata dia.
Baca juga: Batal Nikah Karena Beda Agama, Pasangan Ini Gugat UU Perkawinan ke MK
Sementara, itu lanjut dia, yang diinginkan oleh pemohon adalah supaya pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 dimaknai agar masing-masing pasangan yang berbeda agama boleh menikah sesuai dengan agamanya masing-masing.
Sementara itu menurut pemohon, kata dia, di dalam norma yang ada dalam UU Perkawinan yang berlaku sekarang seolah perkawinan baru bisa dilakukan apabila kedua calon pasangan beragama sama.
"Padahal dalam praktik dengan adanya perbedaan agama, bahkan perbedaan kewarganegaraan, itu sebenarnya tetap bisa dilakukan pencatatan, hanya persoalannya adalah tata cara pengucapan akad nikahnya itu menurut cara apa," kata Suhartoyo.
Menurutnya hal yang membuat permohonan tersebut menjadi pelik adalah apakah persoalan itu kemudian menjadi persoalan konstitusionalitas yang menghalangi seseorang terhambat melakukan perkawinan ataukah sebenarnya itu hanya salah satu cara yang kemudian tidak menghambat keabsahan dari perkawinan itu sendiri.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemohon memperbaiki permohonannya juga di bagian kedudukan hukum pemohon.
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan tenggang waktu untuk perbaikan permohonan adalah selama 14 hari.
Dengan demikian, pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonannya paling lambat pada 29 Maret 2022.
"Untuk tenggang waktu perbaikan perkara 24 ini karena hari ini sidang pertamanya Rabu 16 Maret, hari tanggal penyerahannya itu paling lambat 29 Maret 2022 ya, 14 hari," kata Wahiduddin.