Komnas Perempuan Keluarkan Pernyataan Sikap Terhadap Uji Materil Permendikbud PPKS
Terkait hal ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat jika uji materi ini patut ditolak keseluruhan.
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, mengajukan permohonan uji materi Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) .
LKAAM dalam hal ini sebagai pemohon mengajukan uji materi terhadap pasal 5 ayat 2 huruf b, f, g, h, j, i dan m. Dalam pasal ini terdapat victim consent yaitu frasa 'tanpa persetujuan' korban.
Menurut komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, frasa 'tanpa persetujuan korban' ditafsirkan pemohon sebagai dapat membuka pintu asusila di perguruan tinggi.
Padahal menurut Alimatul tidak demikian.
"Aturan ini tidak soal membenarkan kesusilaan. Tidak mengatur bukan berarti setuju. Analogi misalnya ketertiban umum. Walau tidak ditulis dilarang kencing di ruang pertemuan, bukan berarti diperbolehkan kencing," tegasnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (22/3/2022).
Terkait hal ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpendapat jika uji materi ini patut ditolak secara keseluruhan.
Sebagai penegasan kewajiban negara untuk menyediakan ruang aman dari kekerasan seksual, terutama di lingkungan pendidikan.
Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk turut menguatkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Termasuk di lingkungan perguruan tinggi.
Baca juga: Ditargetkan Nadiem Makrim, Baru Empat Kampus yang Telah Dirikan Satgas PPKS
Terdapat tiga dasar pendapat Komnas Perempuan untuk merekomendasikan penolakan pada permohonan uji materiil tersebut di atas.
Pertama, Pemohon tidak memenuhi kriteria untuk mengajukan keberatan atas Permendikbudristek 30/2021. Karena tidak mampu membuktikan kualifikasinya antara sebagai masyarakat hukum adat atau badan hukum publik.
Selain itu pemohon tidak memiliki kerugian hak warga negara. Tidak memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian dan obyek permohonan.
Baca juga: Risma Kerahkan Jajaran Kemensos Scanning Medsos Cari PPKS yang Butuh Bantuan
"Dan pembatalan obyek permohonan tidak akan menghentikan tindakan kekerasan seksual," ucap komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi dalam konferensi pers virtual, Selasa (22/3/2022).
Kedua, termohon telah memenuhi Prosedur Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Permendikbudristek 30/2021 diterbitkan sesuai kewenangan.
Dan telah memenuhi proses menerima saran dan masukan baik secara lisan maupun tertulis dari kelompok masyarakat yang akan menjadi sasaran pemberlakuan obyek permohonan.
Ketiga, frasa “tanpa persetujuan korban” atau “tidak disetujui oleh korban” mempunyai beberapa penegasan. Pertama, membedakan antara kekerasan dengan aktivitas seksual lainnya yang ditindaklanjuti oleh Tim Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Baca juga: Menteri PPPA Dukung Mendikbud Bentuk Satgas PPKS di Kampus
Kedua, mengenali siapa pelaku dan siapa korban, sehingga kemudian dapat ditentukan pemberian layanan pemulihan dan sanksi dari aktivitas seksual yang dimaksud.
Ketiga, mendidik civitas akademika, khususnya peserta didik perempuan, untuk menolak permintaan seksual berkaitan dengan relasi kuasa yang ada di lingkungan Pendidikan.
Keempat, mendidik civitas akademika bahwa terdapat aktivitas-aktivitas dalam relasi kuasa yang tidak disukai, tidak diinginkan, menyerang atau tidak disetujui seseorang.
Sehingga terbangun relasi dengan budaya penghormatan terhadap tubuh dan seksualitas setiap orang.
Kelima, sejalan dengan prinsip dan norma HAM internasional sebagaimana dimandatkan PBB. Yaitu menekankan “persetujuan korban” sebagai inti dari kekerasan seksual berbasis gender.
Selain itu, frasa ' persetujuan korban' ditafsirkan Pemohon sebagai pintu membuka terjadinya perzinahan di lingkungan perguruan tinggi.
"Komnas Perempuan dalam hal ini berpendapat bahwa tafsir ini menunjukkan ketidakpahaman pada persoalan kekerasan seksual juga keliru karena ditafsirkan terbalik (a contrario)," pungkas Alimatul.