Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas Perempuan Kritik RUU TPKS Tidak Memasukkan Pemerkosaan dan Aborsi

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hal ini dapat merugikan korban pemerkosaan.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Erik S
zoom-in Komnas Perempuan Kritik RUU TPKS Tidak Memasukkan Pemerkosaan dan Aborsi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
ilustrasi Komnas Perempuan mengkritisi pembahasan RUU TPKS yang tidak memasukkan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi sebagai pengaturan tersendiri. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengkritisi pembahasan RUU TPKS yang tidak memasukkan pemerkosaan dan pemaksaan aborsi sebagai pengaturan tersendiri.

DPR beralasan kedua tindak pidana ini akan menjadi substansi di dalam pembahasan revisi Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP).

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menilai hal ini dapat merugikan korban pemerkosaan.

"Komnas Perempuan berpendapat bahwa politik hukum ini menghadirkan risiko kerugian bagi perempuan dan perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya selama masa tunggu hingga RKUHP ditetapkan," ujar Andy melalui keterangan tertulis, Rabu (6/4/2022).

Baca juga: Tolak RUU TPKS Disahkan, Ini Pandangan Fraksi PKS di DPR RI

"Perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah isu mahkota dari tindak kekerasan seksual," tambah Andy.

Andy mengingatkan bahwa perkosaan dan bentuk pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah kasus yang terbanyak dilaporkan ke Komnas Perempuan dan lembaga penyedia layanan setiap tahunnya, baik di ranah personal juga di ranah publik.

Berita Rekomendasi

Dari total 4,323 kasus kekerasan yang dilaporkan ke lembaga layanan pada tahun 2021 di ranah personal dan publik, 2,638 atau 63% adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.

"Pengaturan di dalam KUHP bertumpang tindih antara pasal tentang perkosaan, persetubuhan dan pencabulan," tutur Andy.

Pada kasus perkosaan berupa tindak pemaksaan hubungan seksual di luar penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan maka ditangani sebagai kasus pencabulan.

Baca juga: Baleg DPR dan Pemerintah Sepakati RUU TPKS Dibawa ke Rapat Paripurna

Pada kasus perkosaan dimana korban tidak berdaya, memiliki kerentanan berlapis sebagaimana perempuan disabilitas, atau pingsan, dikenakan pasal terkait persetubuhan.

Pada kasus pencabulan dan persetubuhan, ancaman pidana lebih rendah daripada pasal mengenai perkosaan.

"Definisi sempit dari perkosaan dan pengaturan pemidanaan serta hukum acara pidana yang justru melemahkan perempuan korban sejak awal menjadi alasan utama menggagas RUU TPKS pada tahun 2010," ungkap Andy.

Andy menilai pelemahan itu semakin kompleks dalam pengalaman perempuan disabilitas korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.

Pada masa itu, revisi KUHP juga sudah menjadi wacana, tetapi pembahasannya berlarut-larut.

Karena tidak diatur tersendiri, maka RUU TPKS tidak mengurai persoalan definisi yang disampaikan di atas melainkan menggantungkan pada perubahan di RKUHP.

Pasal jembatan pada RUU TPKS juga memuat tindak persetubuhan, tetapi hanya bagi anak.

Dengan demikian, perempuan dewasa, yaitu yang berusia di atas 18 tahun, yang mengalami perkosaan dalam kondisi tidak berdaya atau dengan kerentanan berlapis sebagaimana penyandang disabilitas tidak dapat menikmati jaminan perlindungan hukum yang tersedia di dalam RUU TPKS ini.

Baca juga: Dana Bantuan Korban Diatur Dalam RUU TPKS, Salah Satu Sumbernya Berasal dari Anggaran Negara

Padahal, menurut Andy, kondisi tidak berdaya dan kerentanan berlapis itu semestinya menjadi pemberatan hukuman, sebagaimana diatur di dalam RUU TPKS.

"Dengan pertimbangan di atas dan mengacu naskah yang dihasilkan oleh Panja pada 6 April 2022, Komnas Perempuan mengusulkan agar muatan pada Pasal 6c menjadi pasal tersendiri sebagai jembatan untuk mengatasi risiko waktu tunggu penetapan RKUHP," kata Andy.

Langkah ini, kata Andy, dapat memastikan RUU TPKS semakin memuat terobosan hukum yang menjadi tonggak penting upaya penghapusan kekerasan seksual.

Perbaikan ini tidak perlu menunggu revisi RKUHP, melainkan menjadi materi yang nanti diharmonisasi dalam proses perumusan revisi KUHP.

"Pasal jembatan ini dapat mengantisipasi kerugian korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya di masa tunggu penetapan revisi KUHP," pungkas Andy.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas