Pengamat Sarankan Jokowi Tegas Tolak Usul Perpanjangan Masa Jabatan Jika Memang Seorang Negarawan
"Kejelasan sikap presiden akan menunjukkan bahwa dirinya adalah benar-benar negarawan, bukan kemaruk kuasa," kata Septa kepada wartawan, Selasa (5/4/2
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Paramadina Public Policy Institute, Septa Dinata, menilai Presiden Joko Widodo masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan dirinya soal isu liar perpanjangan masa jabatan presiden dengan bersikap secara tegas menolak usulan tersebut.
Pasalnya, Septa menyebut bahwa perpanjangan atau penambahan periode jabatan presiden akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
"Kejelasan sikap presiden akan menunjukkan bahwa dirinya adalah benar-benar negarawan, bukan kemaruk kuasa," kata Septa kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Septa mengatakan hal tersebut usai gerilya yang dilakukan para kepala desa dalam Silatnas Apdesi soal rencana dukungan 3 periode kepada Presiden Jokowi.
Namun, diketahui bahwa siasat tersebut kelihatan tak semulus yang direncanakan. Septa masih ingat bagaimana Jokowi pernah menolak jabatan 3 periode.
"Namun, belakangan presiden tampak lebih ambigu dalam merespons isu ini. Tak ada lagi penolakan tegas yang darinya, tapi kalimat bersayap seperti patuh terhadap konstitusi," kata dia.
Baca juga: Anggota Bawaslu: Sumber Legitimasi Jabatan Publik Adalah Persetujuan Rakyat
Septa lebih lanjut mengatakan bahwa sosok Presiden Jokowi pada awalnya dianggap merepresentasikan harapan rakyat akar rumput.
'Dia dianggap banyak pihak sejalan dengan kepentingan keberlanjutan demokrasi pasca reformasi, terlebih saingan politiknya dipandang identik dengan Orde Baru. Alasan ini turut menjelaskan kenapa ada banyak aktivis yang bertengger di barisannya," kata dia.
Namun, setelah hampir tujuh tahun berkuasa, Septa menilai Presiden Jokowi semakin menampakkan bahwa dirinya semakin jauh dari semangat reformasi.
"Di bawah kepemimpinannya justru, alih-alih melakukan penguatan terhadap institusionalisasi demokrasi, wacana penundaan dan penambahan periodisasi jabatan presiden justru mencuat," kata dua.
Yang lebih mengejutkan lagi, dikatakan Septa, adalah terendusnya skenario bahwa operasi ini dipimpin oleh orang yang selama ini dikenal paling dekat dan paling sering mendapat kepercayaan penting dari Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Jabatan Presiden 3 Periode Terus Digaungkan Sejumlah Pihak, Jokowi: Kita Harus Patuh pada Konstitusi
Maka itulah, menurutnya, masih lemahnya institusionalisasi demokrasi di Indonesia adalah alasan paling utama kenapa jabatan presiden harus tetap dua periode.
"Institusionalisasi demokrasi memerlukan waktu yang panjang. Hal ini bukan hanya soal membangun lembaga, tapi penguatan sistem yang tertanam dalam pikir dan laku. Dengan kata lain, demokrasi di Indonesia masih butuh waktu untuk menjelma menjadi tradisi atau budaya politik yang kokoh dan meritokratik," kata dja.
Septa menyebut lemahnya institusionalisasi demokrasi di Indonesia salah satunya dapat dilihat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana.
"Petahana memiliki peluang dalam menggunakan fasilitas negara, pengerahan aparatur negara masih sangat besar, dan pengaruh terhadap kelompok pemilik modal," kata dia
"Jika periodisasi tak dibatasi, setiap kekuasaan akan berpeluang mengulangi model kekuasaan Orde Baru," pungkasnya.