Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Anggota Baleg DPR: Pasal Penodaan Agama Riuh Jika Sudah Masuk Ranah Politik

Luluk Nur Hamidah mengatakan ada ketidakjelasan definisi dari kata ‘penodaan’ pada Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP.

Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Anggota Baleg DPR: Pasal Penodaan Agama Riuh Jika Sudah Masuk Ranah Politik
ISTIMEWA
Luluk Nur Hamidah, aktivis sosial sekaligus kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Anggota Badan Legislasi DPR RI Luluk Nur Hamidah mengatakan ada ketidakjelasan definisi dari kata ‘penodaan’ pada Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP.

Apalagi jika pasal ini sudah masuk ke ranah politik.

Menurutnya penodaan agama dan kebebasan beragama ibarat 2 kutub yang berseberangan dalam beberapa waktu belakangan, dan hal ini menjadi riuh jika sudah masuk ke ranah politik.




“Saya mempertanyakan, yang ingin kita hadirkan di RKUHP ini membatasi orang agar tidak melakukan penodaan agama, atau sesungguhnya menjamin bahwa kebebasan beragama itu yang kita utamakan,” kata Luluk di webinar "Meninjau Kembali Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP"  pada Kamis (7/4/2022)

“Karena ‘penodaan’ sendiri gak jelas, yang dimaksud menodai itu apa. Kalau saya dan keluarga bercanda tentang agama kami sendiri itu dianggap tidak menodai, apa kemudian kalau dilakukan orang lain baru dianggap menodai, atau seperti apa? Ini berarti ada standar ganda terkait yang dimaksud ‘penodaan’,” lanjutnya.

Ini menjadi bermasalah ketika politisasi dalam agama sudah muncul sedemikian rupa, hingga mengesampingkan akal sehat dan menghancurkan hal penting, baik tentang persatuan, kemaslahatan bersama dan lainnya.

Baca juga: GNPF Ulama Laporkan Saifuddin Ibrahim ke Polisi Terkait Dugaan Penodaan Agama

Akhirnya ekosistem hukum RI dapat dikontrol oleh pihak yang memiliki kuasa dominan.

BERITA TERKAIT

“Jika delik ini dipertahankan tanpa adanya revisi dan juga perbaikan, maka ini akan sangat bias pada agama yang besar, kemudian bias kepada kelompok atau legitimasi yang sangat besar, dan mungkin akan sangat sensitif untuk kelompok yang dianggap minoritas atau bahkan yang belum diakui secara formal sebagai agama, atau dicurigai sebagai kepercayaan yang berbeda, karena berbeda maka dianggap sesat,”

Menurutnya harus ada antisipasi yang bisa dihasilkan dari adanya delik penodaan agama ini.

Karena jika tidak benar-benar dikawal, dengan adanya kemajemukan di Indonesia, menurutnya akan sangat memungkinkan perbedaan-perbedaan akan muncul.

Cuman saja, harapannya itu tidak harus berakhir ke pengadilan dan pidana.

Tugas dari negara atau pembuat undang-undang membuat aturan yang paling tepat dan dapat diterima di semua kalangan, tanpa menciptakan konflik baru dengan melihat konteks pluralisme yang ada di Indonesia.

Karena pasal ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan apapun, termasuk politik.

“Setiap penodaan terhadap agama, (jika itu dianggap ada) itu harus diklasifikasi sebagai gangguan terhadap kepentingan dan kemaslahatan umum,”

“Jadi, pengadilan atau pidana harus dianggap sebagai ultimum remedium. Jadi yang paling akhir,” tutupnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas