Komnas Perempuan Ungkap Ada Beberapa Pertimbangan dalam Penyempurnaan Proses Penetapan RUU TPKS
Komnas Perempuan mengapresiasi perkembangan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)
Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas Perempuan mengapresiasi perkembangan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) oleh pihak DPR dan Pemerintah pada sesi sejak 28 Maret hingga 6 April 2022.
Pada saat bersamaan, masih terdapat sejumlah isu penting yang perlu menjadi pertimbangan dalam proses penyempurnaan saat penetapan RUU TPKS nanti.
Komnas Perempuan menyebutkan bahwa proses perumusan RUU TPKS berlangsung dinamis, terbuka, dan konstruktif, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari masyarakat sipil.
Terutama lembaga dan pendamping korban kekerasan seksual dan organisasi penyandang disabilitas.
Komnas Perempuan juga telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) baik kepada pihak DPR maupun Pemerintah atas RUU yang dibahas.
"Komnas Perempuan akan terus mendukung dan mengawal pembahasan di tahap berikut sampai pengesahan," ungkap Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangan resmi, Kamis (7/4/2022).
Proses pembahasan RUU TPKS telah menghasilkan rumusan yang memperkuat pelindungan hukum pada berbagai tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: RUU TPKS Segera Disahkan, Ketua DPR: Hadiah Menyambut Peringatan Hari Kartini
Sebelumnya, tidak diatur secara parsial dalam sistem hukum Indonesia. Yaitu pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pengendalian, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, eksploitasi seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Penguatan pelindungan hukum ini juga akan menjangkau berbagai tindak pidana kekerasan seksual lain yang telah diatur dalam peraturan Per-UU lain.
RUU TPKS juga memuat tanggung jawab pencegahan dengan melibatkan peran masyarakat luas, khususnya, keluarga.
Selain itu terkait unsur tindak pidana, Komnas Perempuan mencatat bahwa perkosaan dan pemaksaan aborsi tidak menjadi pengaturan tersendiri.
Pasal 4 Ayat 2 mengatur bahwa perkosaan dan pencabulan juga menjadi bagian dari pengaturan dalam RUU TPKS. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa tindak pidana kedua akan menjadi substansi di dalam pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP).
Menurut informasi dari pemerintah, RKUHP akan dibahas dan ditetapkan pada sesi sidang Juni 2022 mendatang.
Baca juga: Menteri PPPA: RUU TPKS Sepakat Diteruskan ke Pembicaraan Tingkat II
Menurut Komnas Perempuan, politik hukum ini menghadirkan risiko kerugian bagi perempuan.
Serta perempuan korban perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya selama masa tunggu hingga RKUHP yang telah ditetapkan.
Apalagi materi pembahasan RKUHP sangat banyak dan mungkin membutuhkan masa tunggu yang panjang hingga penetapan RKUHP dilakukan.
Sejauh ini kasus perkosaan dan bentuk pemaksaan hubungan seksual lainnya adalah kasus yang paling banyak dilaporkan ke Komnas Perempuan serta lembaga penyedia layanan setiap tahunnya. Baik di ranah pribadi juga di ranah publik.
Dari total 4.323 kasus kekerasan yang dilaporkan lembaga layanan pada tahun 2021 di ranah pribadi dan publik, 2.638 atau 63% adalah kasus perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya.
Sejauh ini, Komnas Perempuan menyebutkan pengaturan di dalam KUHP bertumpang tindih antara pasal tentang perkosaan, persetubuhan dan pencabulan.
Baca juga: Komnas Perempuan Kritik RUU TPKS Tidak Memasukkan Pemerkosaan dan Aborsi
Definisi sempit dari perkosaan dan pengaturan pemidanaan serta hukum acara pidana yang justru perempuan korban sejak awal menjadi alasan utama RUU TPKS pada tahun 2010.
Karenanya, Komnas Perempuan mengusulkan agar muatan pada Pasal 6c menjadi pasal tersendiri sebagai jembatan untuk mengatasi waktu tunggu penetapan RKUHP.
"Langkah ini dapat memastikan RUU TPKS meningkatkan terobosan hukum menjadi penting sebagai upaya penghapusan kekerasan seksual," kata Andy lagi
Perbaikan ini tidak perlu menunggu revisi RKUHP, melainkan menjadi materi yang nanti diharmonisasi dalam proses perumusan revisi KUHP.
Pasal jembatan ini dapat mengantisipasi kerugian perkosaan dan pemaksaan hubungan seksual lainnya di masa tunggu penetapan revisi KUHP.
Catatan lain terkait dengan tindak pidana adalah pengaturan seksual non fisik yang dapat meningkatkan posisi korban. Hal ini disebabkan adanya frasa “dengan maksud” di dalam aturan tersebut.
Baca juga: Baleg DPR dan Pemerintah Sepakati RUU TPKS Dibawa ke Rapat Paripurna
Hal ini, menurut Komnas Perempuan justru memberikan peluang bagi pelaku seksual untuk menyangkal dampak perbuatannya terhadap harkat dan martabat korban.
"Karenanya, pada pasal ini Komnas Perempuan mengusulkan agar perbaikan dapat menjadi perhatian pengambil keputusan pada pembahasan berikutnya," pungkasnya.