Jelang KTT G20 di Bali, Kemendagri Dorong Kawasan Sarbagita Kelola Sampah dengan Kearifan Lokal
Hampir sebagian besar masyarakat perkotaan membuang sampah rumah tangga secara gelondongan tanpa memilah mana yang organik dan non-organik.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
Dia menjelaskan ini memerlukan perencanaan, anggaran yang memadai, dan menemukan model bisnis yang tepat sehingga memberikan manfaat besar bagi perekonomian masyarakat.
Dia menyebut pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat Bali bisa menggunakan kearifan lokal dalam pengelolaan sampah. Sebenarnya sudah ada contoh pengelolaan mandiri.
Masyarakat di Bali ada yang mengelola sampah organik dengan memasukkan ke dalam lubang dengan panjang, lebar, dan kedalaman masing-masing 1 meter.
“Setiap rumah biasanya memiliki dua lubang di belakang rumah. Satu lubang untuk diisi selama 1-2 bulan. Jika sudah penuh, sampah baru akan dimasukkan ke lubang sebelahnya. Nanti sampah di lubang yang lama dimanfaatkan menjadi kompos. Pengelolaan mandiri seperti ini perlu direplikasi ke daerah-daerah lain,” kata Mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendagri itu.
Safrizal mengatakan konsep penanganan dengan kearifan lokal ini bisa merujuk pada falsafah Tri Hita Karana.
Visi yang harus dikedepankan: semesta adalah warisan untuk anak dan cucu kita di masa depan.
Untuk itu dirinya mengajak masyarakat untuk melestarikan alam dan budaya dengan mengelola sampah untuk kehidupan yang berkelanjutan.
“Solusi yang bertumpu pada kearifan lokasi biasanya terlihat sederhana dan selalu dipandang sebelah mata karena skalanya yang kecil. Padahal, jika diteliti lebih dalam lagi, pengelolaan sampah di rumah-rumah berdasarkan inisiasi masyarakat dan komunitas ini punya dampak besar terhadap pengurangan sampah,” katanya.
Pemerintah dan masyarakat bisa menggalakkan kegiatan reduce, reuse, dan recycle (3R) dalam pengelolaan sampah.
Sampah organik yang diolah menjadi kompos bisa digunakan untuk tanaman di sekitar rumah dan lingkungan. Bahkan, jika masyarakat bisa mengorganisasi di satu wilayah, bisa dijual untuk keperluan pertanian. Safrizal mendorong perangkat desa dan komunitas pecinta lingkungan untuk menjembatani daur ulang sampah plastik.
“Masyarakat perlu diberi pelatihan bagaimana memanfaatkan sampah plastik untuk membuat berbagai kerajinan tangan yang bernilai ekonomi tinggi. Mungkin juga dibantu cara mengumpulkan sampah plastik dan menghubungkan dengan industri yang membutuhkan. Dengan demikian, sampah plastik tidak akan menumpuk di TPA dan mengurangi pencemaran lingkungan,” paparnya.
Safrizal mengingatkan pemda-pemda Sarbagita untuk serius dalam penanganan sampah ini mengingat Bali akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada 15-16 November mendatang.
Event besar ini harus bisa dimanfaatkan untuk promosi Bali sebagai destinasi wisata yang bersih, nyaman, dan aman kepada dunia. Ini akan membantu pemulihan sektor pariwisata yang terdampak Pandemi Covid-19.
Untuk membahas pengelolaan sampah ramah lingkungan dan berkelanjutan, Ditjen Bina Adwil Kemendagri yang tergabung dalam Tim Pendampingan Percepatan Penanganan Sampah di Provinsi Bali dan stakeholder terkait akan menyelenggarakan Indonesia International Waste Expo (IIWAS) “TriSenses Bali 2022” di Jimbaran, Bali, pada 17-20 April ini.