KPPU Pertanyakan Rencana Pelabelan BPA Pada Galon Isi Ulang Berbahan Polikarbonat
Direktur Advokasi Kebijakan Publik KPPU menilai ada potensi persaingan tidak sehat pada wacana revisi Peraturan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan
Editor: Firda Fitri Yanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) didesak oleh beberapa pihak untuk merevisi Peraturan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Revisi aturan itu akan mewajibkan produk air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan Polikarbonat (PC) untuk mencantumkan label ‘berpotensi mengandung BPA’ pada kemasannya.
BPOM juga didesak membolehkan produk AMDK berbahan Polietilena (PET) meletakkan label ‘BPA Free’.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat ada potensi isu persaingan tidak sehat dalam draft revisi kebijakan Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Hal itu karena revisi kebijakan tersebut bertujuan untuk menambahkan pasal tertentu yang mewajibkan label BPA untuk galon berbahan Polikarbonat (PC) atau satu jenis kemasan produk tertentu saja.
“Ada potensi persaingan tidak sehat. Tapi kita harus memastikan dulu draft terakhir revisi kebijakan BPOM itu seperti apa, dan apa sih urgensi pelabelan BPA Free itu hanya merujuk khusus kepada AMDK berbahan PET, kenapa harus khusus ke galon berbahan PET. Kan ini harus kita pastikan nanti ke BPOM,” ujar Direktur Advokasi Kebijakan Publik Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Abdul Hakim Pasaribu.
Dia mengatakan KPPU saat itu menilai secara umum bahwa kebijakan pencantuman tulisan berpotensi mengandung BPA yang dikhususkan untuk AMDK galon berbahan PC itu, memang bisa bersinggungan dengan KPPU.
“Kenapa ini spesifik hanya ditujukan untuk itu (galon berbahan PC). Ini kan bisa menciptakan isu yang tidak sehat di antara AMDK dengan bahan kemasan plastik berbeda,” kata Hakim.
Artinya, kata Hakim, pelabelan BPA yang hanya diberlakukan untuk galon berbahan PC itu bukan hanya memunculkan kecemburuan, tapi akan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi air galon berbahan PC itu.
Padahal, menurutnya, Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan itu tidak hanya berlaku untuk satu produk pangan (seperti AMDK Galon) saja tapi untuk semua produk.
Karena, dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa hampir semua kemasan pangan itu mengandung senyawa kimia dan akan membahayakan manusia apabila melewati ambang batas yang ditentukan.
“Jadi, jelas peraturan BPOM itu tidak hanya merujuk hanya pada satu produk saja tapi semua produk. Kalau hanya untuk satu produk, itu kan sama saja kondisinya dengan ketika BPOM menarik Kinder Joy baru-baru ini karena mengandung Salmonella. Artinya, buat industri makanan dan minuman, isu-isu tentang keamanan pangan itu sangat sensitif. Itulah sebabnya kita ingin meminta penjelasan dari BPOM sejauh mana urgensi diadakannya pelabelan ‘potensi mengandung BPA’ atau ‘BPA Free’ tersebut,” katanya.
Padahal, kata Hakim, di satu sisi pemerintah dalam hal ini BPOM juga telah menetapkan batasan migrasi senyawa kimia dalam kemasan pangan, dan sudah mengatakan bahwa migrasi BPA dalam galon berbahan PC itu tidak melewati batas aman dan memenuhi ketentuan.
“Jadi, kenapa harus memberi pelabelan potensi mengandung BPA? Itu kan bisa menyebabkan konsumen nanti menjadi takut kalau meminum air dari galon berbahan PC. Nah, itu yang kita nilai. Apalagi kita juga mendapat informasi bahwa rancangan peraturan tersebut juga sudah dikembalikan oleh Setkab ke BPOM. Makanya kami sedang mengatur untuk melakukan permintaan informasi ke BPOM dan kita sedang mengatur jadwalnya,” katanya.