Bukan Hoaks, Mafindo Perbarui Informasi Terkait Risiko BPA pada Galon Guna Ulang
Pihak Mafindo baru-baru ini memberikan update dan menyatakan bahwa kesimpulan terkait isu BPA yang sebelumnya disebut sebagai hoaks tidaklah benar.
Penulis: Nurfina Fitri Melina
Editor: Firda Fitri Yanda
TRIBUNNEWS.COM - Informasi terkait risiko Bisfenol A (BPA) pada kemasan galon Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) Galon Guna Ulang (GGU) polikarbonat belakangan terus menjadi pembicaraan hangat di masyarakat.
Terkait risiko BPA ini, komunitas Masyarakat Anti Fitnah (Mafindo) sebelumnya telah menyatakan bahwa isu tersebut merupakan disinformasi atau hoaks.
Mafindo merupakan komunitas anti-hoaks yang telah resmi menjadi lembaga nirlaba yang sah secara hukum dan melakukan berbagai kegiatan untuk melawan wabah hoaks serta meningkatkan edukasi literasi digital untuk publik.
Namun, pihak Mafindo baru-baru ini memberikan update dan menyatakan bahwa kesimpulan terkait isu BPA yang sebelumnya disebut sebagai hoaks tidaklah benar.
“Berkaitan dengan perubahan kajian BPOM, kesimpulan kami yang menyatakan bahwa BPA tidak berbahaya adalah tidak benar. Berdasarkan data kajian BPOM terbaru, kandungan BPA dalam kemasan makanan/minuman polikarbonat adalah berbahaya dan dalam hal ini BPOM akan terus melakukan monitoring lebih lanjut,” tulis pihak Mafindo.
Dikutip dari situs turnbackhoax.id, Mafindo menjelaskan, setelah dilakukan penelusuran fakta, diketahui kajian terbaru dari BPOM menyatakan kandungan BPA atau Bisphenol-A yang sering ditemukan pada wadah plastik, salah satunya galon guna ulang, memang berbahaya.
Berdasarkan data hasil uji post-market 2021-2022 dengan sampel yang diambil dari seluruh Indonesia ditemukan bahwa migrasi BPA (perpindahan BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan) pada galon polikarbonat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan" dan telah mencapai ambang batas berbahaya.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang menjelaskan, hasil uji migrasi BPA menunjukkan sebanyak 33% sampel pada sarana distribusi dan peredaran, serta 24% sampel pada sarana produksi, berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg/kg yang ditetapkan Otoritas Keamanan Makanan Eropa (EFSA) dan 0,6 mg/kg berdasarkan ketentuan di Indonesia.
Rita mengungkapkan, untuk melindungi kesehatan masyarakat untuk jangka panjang, beberapa negara telah memperketat standar batas migrasi BPA.
Misalnya seperti pencantuman peringatan label bahaya BPA berupa kanker, gangguan kehamilan dan fungsi reproduksi yang diterapkan di negara bagian California (Amerika Serikat).
Di sana, BPA termasuk dalam salah satu senyawa yang diatur dalam daftar Proposition 65 (Peraturan Negara Bagian California) yang harus mencantumkan peringatan berikut pada label WARNING kemasan setiap produk dan pada ritel/rak penjualan: “WARNING: This product contains a chemical known to the State of California to cause birth defects or other reproductive harm.”
EFSA juga telah melakukan evaluasi ulang terkait risiko BPA terhadap kandungan BPA pada produk pangan dan hasilnya, EFSA Panel pun mengusulkan penurunan asupan harian yang dapat ditoleransi (tolerable daily intake/TDI) untuk BPA sebesar 0,04 nanogram/kg BB/hari atau 100.000 kali lebih kecil dibandingkan dengan TDI yang ditetapkan sebelumnya yaitu 4 mikrogram per kilogram berat badan (µg/kg BB/hari).
"BPOM belajar dari tren yang berlangsung, dinamika regulasi negara lain, dan mempertimbangkan kesiapan industri pangan serta dampak ekonomi," katanya.
BPOM perjuangkan regulasi pelabelan BPA-Free
Untuk itu, demi melindungi kesehatan masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah berinisiatif untuk menyusun draft Rancangan Peraturan Badan POM tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan POM No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Dalam rancangan regulasi ini, BPOM tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, namun mengharuskan produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan keterangan "Berpotensi Mengandung BPA".
Regulasi ini bertujuan melindungi kesehatan masyarakat, edukasi masyarakat dan transparansi, serta menggerakan pelaku usaha berinovasi sehingga ada kompetisi/daya saing untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu, sehingga masyarakat diuntungkan. Selain itu, juga melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan dari masyarakat di masa datang.