Ekonom Sebut Larangan Ekspor Migor Harus Dihentikan: Ini Kebijakan yang Mengulang Kesalahan
Ekonom menyebut kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng harus dihentikan, karena tidak menyelesaikan masalah saat ini.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Inza Maliana
TRIBUNNEWS.COM - Direktur of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut kebijakan pemerintah soal larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng harus dihentikan.
Menurutnya, dengan kebijakan tersebut tidak akan menyelesaikan masalah minyak goreng saat ini.
Justru adanya pelarangan ini kata Bhima hanya akan mendatangkan protes bagi calon pembeli di luar negeri.
Hal tersebut menurutnya mengulang kesalahan seperti pada komoditas batubara pada Januari 2022 lalu.
Baca juga: Pasar Minyak Nabati Global Bergejolak Setelah Jokowi Larang Ekspor CPO hingga Minyak Goreng
Baca juga: Pro Kontra Larangan Ekspor Minyak Goreng: Dinilai Stabilkan Harga tapi Disebut Rugikan Petani Kecil
Di mana, pemerintah juga melarang seluruh perusahaan batubara untuk ekspor.
Sebab, adanya kekhawatiran terhadap rendahnya pasokan untuk pembangkit listrik domestik.
"Sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop ekspor. Ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada januari 2022 lalu."
"Apakah masalah selesai? Kan tidak justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," kata Bhima dilansir Kompas.com, Minggu (24/4/2022).
Bhima mengatakan, justru yang harus dilakukan pemerintah yakni cukup mengembalikan kebijakan domestic market Obligation (DMO) CPO 20 persen.
"Kemarin saat ada DMO kan isunya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi, pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup," kata Bhima.
Imbas Larangan Ekspor
Lebih lanjut, Bhima menjelaskan dampak yang akan ditanggung pemerintah jika kebijakan ini ditetapkan.
Imbas tersebut di antaranya akan kehilangan sejumlah devisa negara.
Yakni bisa mencapai 3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 43 triliun dihitung dari kurs Rp 14.436 per dollar AS.