Ombudsman RI: Sinyal Krisis Stok Minyak Sawit RI Sudah Nampak Sejak Tahun 2019
Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih mengatakan sinyal krisis stok minyak sawit Indonesia sudah mulai tampak paska tahun 2019.
Penulis: Larasati Dyah Utami
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Ombudsman RI, Alamsyah Saragih mengatakan sinyal krisis stok minyak sawit Indonesia sudah mulai tampak paska tahun 2019.
Dimana hal ini ditunjukkan dengan produksi yang stagnan, ekspor yang meningkat tipis, sementara konsumsi domestik meningkat.
Saat dulu petani sawit membuang tandan buah segarnya karena harga yang jatuh, tanpa sadar sejak saat itu harga minyak sawit mulai naik, atau sebelum terjadi kenaikan harga-harga minyak nabati.
“Kadang kita lupa, fakta bahwa Indonesia merupakan produsen terbesar global (minyak sawit) menciptakan imajinasi kita memiliki persediaan yang tidak terbatas,” kata Alamsyah di diskusi bertajuk ‘Ironi Negara Penghasil Sawit Terbesar’, Senin (25/4/2022).
Alamsyah membeberkan, berdasarkan data dari GAPKI di tahun 2018, ada 4,02 juta ton stok awal di data neraca sawit Indonesia, dengan produksi mencapai 47,44 juta ton, dan konsumsi domestik mencapai 133,49 juta ton.
Saat itu biodiesel baru 3,80 juta ton dan ekspor capai 34,71 juta.
Baca juga: Larangan Ekspor Sawit dan Minyak Goreng akan Membuat Stok di Pasaran Melimpah dan Harga Terjangkau
Jika dilihat dari produksi dikurangi konsumsi dan ekspor, Indonesia sudah defisit 0,76 juta ton sejak tahun 2018. Stok akhir pada tahun 2018 hanya 3,26 juta ton.
Begitu pula pada tahun 2019, neraca sawit Indonesia menunjukkan defisit 1,02 juta ton.
Hanya pada tahun 2020, neraca sawit Indonesia menunjukkan surplus sebanyak 0,23 juta ton karena produksi meningkat.
“Tapi memang karena tanah kita terbatas, kemudian sawit swadaya rakyat kita itu produktivitasnya sangat rendah. Akibatnya sejak tahun 2019, ke 2020 dan 2021 cenderung stagnan di 51 juta ton. Sementara konsumsi terus naik pasca pandemi, dan ambisi pemerintah untuk meningkatkan program biodiesel,” ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Alamsyah wajar jika kelangkaan minyak goreng mulai dirasakan pada tahun 2022, karena diprediksi Indonesia bahkan akan mengalami defisit stok minus 1,5 persen.
Menurutnya tidak gampang mengimplementasikan kebijakan pemerintah untuk melakukan DMO dan DPO untuk menurunkan harga minyak sawit.
Sebab akan sulit memaksa perusahaan produksi CPO untuk menjual harga minyak goreng yang murah, dan dalam persepsi para pengusaha akan merugi.
Biasanya ini akan diimbangi dengan cara menurunkan harga buah sawit.
Namun hal tersebut juga bukan hal yang mudah, karena asosiasi petani sawit Indonesia memiliki informasi harga sawit di Rotterdam yang menjadi acuan.
Indeks K yang mengatur harga sawit pun mengacu pada harga CPO di Rotterdam, Belanda.
“Jadi tidak semudah membalik telapak tangan untuk mengatakan cukup dengan DMO dan DPO maka kemudian harga turun,” ujarnya.