Pemerintah Diminta Segera Duduk Bersama Pelaku IHT Membuat Road Map Industri Hasil Tembakau
Industri Hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri yang sangat memahami kondisi keuangan negara saat ini.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri Hasil tembakau (IHT) merupakan salah satu industri yang sangat memahami kondisi keuangan negara saat ini.
Karena itu, meski dirasa berat dan berdampak negatif kepada pertumbuhan industri dan penjualan rokok, kebijakan kenaikan cukai rokok tahun 2021 lalu yang telah diambil pemerintah tetap diterima para pelaku industri.
Namun, pihak IHT berharap pemerintah bersikap lebih bijak dengan tidak menaikan cukai rokok di tahun depan. Selain itu, untuk memberikan kepastian dalam bisnis termasuk masalah percukaian, dapat duduk bersama dengan seluruh stake holder IHT untuk membuat road map atau peta jalan IHT di masa depan.
“Meski dengan berat hati, kami masih patuh menerima kebijakan kenaikan cukai rokok. Tapi kami berharap ke depan dalam menentukan kebijakan tarif menyesuaikan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Artinya, (Pemerintah) jangan seenaknya sendiri menaikkan tarif cukai (rokok) tinggi,” tegas ketua Gabungan Pabrik Rokok Surabaya, Sulami Bahar kepada pers di Jakarta, Senin (25/4/2022).
Baca juga: Fasilitas Bea Cukai Bantu Pulihnya Negeri dari Pandemi
Sulami Bahar mengingatkan, jika pemerintah terus menaikan cukai rokok bahkan tidak mendengarkan masukan dan pendapat dari para pelaku IHT di tanah air, akan berdampak pada semakin tingginya rokok illegal masuk di pasaran nasional.
Hal ini karena, daya beli konsumen rokok makin menurun akibat adanya wabah covid 19 yang diikuti oleh krisis ekonomi. Sementara kebutuhan akan rokok tidak bisa dihentikan.
Rokok yang diproduksi industri rokok nasional yang legal harga jualnya menjadi naik karena kenaikan cukai rokok.Sudah pasti, masyarakat konsumen rokok akan beralih ke rokok illegal.
“Mereka (masyarakat) akan tetap merokok tetapi memilih rokok. yang lebih murah. Artinya, di situ yang lebih murah itu rokok ilegal. Padahal, rokok ilegal itu kita tahu sendiri sangat merugikan semua pihak. Terhadap pemerintah, pendapatan negara hilang, dengan pengusaha ( rokok) terjadi persaingan tidak sehat," ujarnya.
Tak kalah pentingnya, kata dia, hal itu sangat merugikan masyarakat konsumen karena di dalam rokok ilegal itu tidak diketahui kandungannya berbahaya atau tidak karena tanpa melalui uji laboratorium dan lain-lain.
Lebih lanjut, Sulami Bahar menjelaskan kebijakan pemerintah selama tiga tahun berturut turut menaikan cukai rokok di atas besaran inflasi telah menambah beban harga kepada setiap batang rokok yang diproduksi perusahaan rokok resmi sebesar 64,5 persen.
Bahkan untuk perusahaan atau pabrik rokok yang kecil kecil, beban itu bertambah menjadi 74 persen.
Hal ini karena pabrik rokok tersebut tidak dapat menjual rokoknya mengikuti harga sesuai harga jual eceran (HJE).Menjualnya di bawah bandrol. Dengan demikian beban yang dipikul produsen rokok atas setiap batang yang diproduksi dan dijualnya menjadi semakin tinggi.
“Tidak hanya kenaikan di tahun ini. Tetapi mulai dari kenaikan 23 persen di tahun 2020 berbarengan pandemic (Covid 19), BPS mencatat dalam 2 tahun terakhir, industri hasil tembakau mengalami kontraksi 1,32 persen di tahun 2021 dan 5,78 persen di tahun 2020," ujarnya.
Dikatakan bahwa kenaikan tahun 2022 yang sebesar 12 persen menjadi semakin memberatkan industri yang baru pulih akibat pandemi. Dampaknya, industri hasil tembakau di gologan satu saat ini banyak yang mengajukan untuk turun golongan.
"Sehingga di negara kita ini hanya tinggal 3 dari sebelumnya 7 perusahaan golongan 1. Jadi ini tidak bisa didiamkan, nanti justru pemerintah akan terpuruk sendiri, karena yang terbesar memberikan kontribusi ke negara ini golongan 1, golongan 2. Kalau golongan 3 banyak yang diproteksi,” papar Sulami Bahar.
Buruh dirumahkanMenurut Sulami Bahar, akibat kenaikan cukai rokok yang dilakukan pemerintah di tahun 2021 dan berlaku mulai awal Januari 2022, telah berdampak negatif bagi perekonomian, khususnya IHT.Sedikitnya 4000 buruh rokok telah dirumahkan atau diberhentikan.
“Ada sekitar 4000 buruh (pabrik rokok) dari anggota kami yang lay off. Jadi, sebenarnya PHK ini tidak hanya dampak dari kenaikan cukai tetapi ada juga dampak dari pandemi. Jadi, dampak gabungan kenaikan tarif cukai dan adanya pandemic,” jelas Ketua Gapero Surabaya, Sulami Bahar.
Ditambahkan Sulami Bahar, dirinya bersama para produsen rokok lainnya yang tergabung dalam Gapero Surabaya, setiap tahunnya selalu merasa deg -degan, dengan kebijakan kebijakan yang akan diambil pemerintah.
"Deg-degan akan kenaikan cukai rokok yang akan dilakukan pemerintah dengan besaran yang tidak pasti," ujarnya.
Hal ini karena pemerintah tidak memiliki rumusan tertentu atau rumusan kenaikan cukai rokok versi pemerintah yang tidak disosialisasikan kepada para pelaku IHT dalam menentukan besaran kenaikan cukai.
Harusnya pemerintah memiliki rumusan yang pasti yang disosialisasikan kepada para pelaku IHT. Sehingga pelaku IHT tidak dibuat pusing.
“Dalam menentukan kebijakan tarif cukai rokok seyogyanya pemerintah itu memperhatikan rumusnya. Rumusnya apa? Inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai terjadi sebagaimana di tahun 2020, pertumbuhan ekonominya minus 2,07 tapi kenaikan tarif cukai hasil tembakau justru menjadi 23 persen,” tegas Sulami.
Menurut pandangan Sulami Bahar, ketidakjelasan rumusan dalam menaikan besaran cukai rokok itu disebabkan hingga saat ini pemerintah tidak memiliki road map IHT.
Karena itu, Sulami Bahar mengusulkan kepada pemerintah untuk segera memuat road map IHT.
“ Tidak adanya roadmap dalam menentukan kebijakan tarif sehingga menjadi tidak pasti. Yang kiranya bisa diantisipasi dengan adanya roadmap industri hasil tembakau yang berkeadilan dan tentunya harapan kami adanya roadmap. Intinya seperti itu.
Namun demikian, Sulami Bahar meminta road map dibuat bukan hanya oleh pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan saja, melainkan juga melibatkan pihak lain seperti pelaku IHT, kementerian pertanian, kementrian perindustrian, termasuk perwakilan petani tembakau.
“Dalam pembuatan road map harus berkeadilan dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” papar Sulami Bahar.
Pendapat Sulami didukung Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Berly Martawardaya.
Menurut Berly Martawardaya Pemerintah perlu membuat road map tapi yang bersifat indikatif dan range sehingga masih ada ruang untuk fleksibilitas dan adjustment sesuai kondisi ekonomi global dan nasional yang dinamis.
“Intinya pemerintah wajib mendengar aspirasi kelompk masyarakat atau stakeholder dan jelaskan keputusan yang telah diambil pemerintah kepada stake holder atau masyarakat.,” papar Dosen FEB UI yang juga direktur Penelitian INDEF, Berly Martawardaya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.