Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kata Ekonom soal Larangan Ekspor Minyak Goreng, Picu Perang Dagang hingga Dinilai Untungkan Malaysia

Kata para Ekonom soal kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO).

Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
zoom-in Kata Ekonom soal Larangan Ekspor Minyak Goreng, Picu Perang Dagang hingga Dinilai Untungkan Malaysia
Tangkap layar kanal YouTube Sekretariat Presiden
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat mengumumkan Kebijakan Minyak Goreng secara virtual dari Istana Merdeka, Jakarta pada (Jumat (22/4/2022). 

Hal tersebut menurutnya mengulang kesalahan seperti pada komoditas batubara pada Januari 2022 lalu. 

Direktur of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Direktur of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. (istimewa)

Baca juga: Pasar Minyak Nabati Global Bergejolak Setelah Jokowi Larang Ekspor CPO hingga Minyak Goreng

Baca juga: Pro Kontra Larangan Ekspor Minyak Goreng: Dinilai Stabilkan Harga tapi Disebut Rugikan Petani Kecil

Di mana, pemerintah juga melarang seluruh perusahaan batubara untuk ekspor. 

Sebab, adanya kekhawatiran terhadap rendahnya pasokan untuk pembangkit listrik domestik. 

"Sebenarnya kalau hanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri, tidak perlu stop ekspor. Ini kebijakan yang mengulang kesalahan stop ekspor mendadak pada komoditas batubara pada januari 2022 lalu."

"Apakah masalah selesai? Kan tidak justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," kata Bhima, dikutip dari Kompas.com, Selasa (26/4/2022).

Bhima mengatakan, justru yang harus dilakukan pemerintah yakni cukup mengembalikan kebijakan domestic market Obligation (DMO) CPO 20 persen.

"Kemarin saat ada DMO kan isunya soal kepatuhan produsen yang berakibat pada skandal gratifikasi, pasokan 20 persen dari total ekspor CPO untuk kebutuhan minyak goreng lebih dari cukup," kata Bhima.

Berita Rekomendasi

Kehilangan Sejumlah Devisa Negara.

Lebih lanjut, Bhima menjelaskan dampak yang akan ditanggung pemerintah jika kebijakan ini ditetapkan. 

Imbas tersebut di antaranya akan kehilangan sejumlah devisa negara.

Yakni bisa mencapai 3 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 43 triliun dihitung dari kurs Rp 14.436 per dollar AS.

Perhitungan itu melihat perhitungan dari jumlah ekspor bulan Maret 2022. 

"Jadi estimasinya bulan Mei apabila asumsinya pelarangan ekspor berlaku 1 bulan penuh, (pemerintah) kehilangan devisa sebesar 3 miliar dollar AS. Angka itu setara 12 persen total ekspor nonmigas," jelas Bhima.

Tidak Berikan Dampak Signifikan

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas