Kuasa Hukum Sebut Pelunasan Uang Rp3,5 M Eks Gubernur Sultra Adalah Sukarela
pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pelunasan uang denda dan pengganti senilai Rp3,5 miliar telah membelokkan fakta hukum.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum eks Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, Didi Supriyanto, menganggap pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pelunasan uang denda dan pengganti senilai Rp3,5 miliar telah membelokkan fakta hukum.
Nur Alam adalah terpidana kasus tindak pidana korupsi dalam Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
Didi menjelaskan, pelunasan uang denda dan pengganti Rp3,5 miliar dilakukan secara sukarela oleh Nur Alam atas kesadaran sebagai warga negara yang taat hukum, bukan karena ditagih oleh KPK.
Katanya, berdasarkan amar dan pertimbangan hukum Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst tertanggal 28 Maret 2018, Nur Alam dibebaskan dari dakwaan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi kepada PT AHB.
Selanjutnya, berdasarkan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tertanggal 5 Desember 2018, Nur Alam juga dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi kepada PT AHB.
“Mahkamah Agung justru melalui putusan kasasi tersebut malah telah membebaskan Nur Alam dari dakwaan tindak pidana korupsi seperti yang diatur di Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim Agung tingkat kasasi jugha menegaskan bahwa tidak terbukti adanya dugaan kerugian negara sebesar Rp4,3 triliun sebagaimana yang didakwakan," kata Didi lewat keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Kamis (12/5/2022).
Baca juga: KPK Setor Uang Rp 3,5 M Pelunasan Denda dan Uang Pengganti Eks Gubernur Sultra
"Dengan demikian tidak benar segala pemberitaan di media yang menyebut Nur Alam melakukan tindak pidana korupsi karena bertentangan putusan kasasi Mahkamah Agung itu sendiri,” lanjutnya.
Menurut Didi yang juga mantan legislator DPR-RI dari PDI Perjuangan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung, Nur Alam memang masih dianggap menerima gratifikasi sebesar 4,49 juta USD (Rp40,26 miliar) sebagaimana ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Atas dasar itu pula Nur Alam telah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) walaupun hasilnya masih jauh dari rasa keadilan.
“Jadi urusan gratifikasi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan penerbitan IUP kepada PT AHB. KPK salah besar kalau menganggap hal tersebut berkaitan. Seharusnya KPK lebih berhati-hati lagi dalam memberi pernyataan ke publik, jangan terkesan ada penggiringan opini yang menyesatkan publik karena tidak sesuai dengan fakta hukum dan putusan pengadilan. Berani mengingkari putusan kasasi Mahkamah Agung sama artinya melabrak tatanan hukum tertinggi di republik ini,” kata Didi.
Sebelumnya, Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan upaya penagihan uang denda dan dan uang pengganti yang dilakukan tim jaksa eksekutor KPK merupakan langkah optimalisasi asset recovery dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Nur Alam merupakan terpidana kasus korupsi terkait Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi ke PT AHB di Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014,” kata Ali, Selasa (10/5/2022).
"KPK melalui direktorat pengelolaan barang bukti dan eksekusi terus aktif melakukan penagihan uang denda maupun uang pengganti terhadap para terpidana korupsi yang perkaranya ditangani KPK," imbuhnya.
Nur Alam divonis 12 tahun penjara berdasarkan putusan kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tanggal 5 Desember 2018.
Kasus tindak pidana korupsi yang menyeret Nur Alam itu merugikan keuangan negara sebesar Rp1,59 triliun.
Nur Alam juga menerima gratifikasi sebesar Rp40,268 miliar.
Vonis itu berkurang dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memutuskan Nur Alam divonis 15 tahun penjara.
Putusan tingkat pertama, pada 28 Maret 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Nur Alam 12 tahun penjara.
Nur Alam pernah mengajukan PK sebanyak dua kali, yang keduanya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,781 miliar dan dicabut hak politiknya selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani hukumannya.
Pidana pengganti itu diperhitungkan dengan harga satu bidang tanah dan bangunan di Kompleks Premier Estate Kavling 1 No 9, Cipayung, yang sudah disita.
Nur Alam dinilai terbukti bersalah dalam dua dakwaan.
Dakwaan pertama, Nur Alam, sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018, bersama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Provinsi Sultra Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi memberikan persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah, sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,5 triliun.
Dakwaan kedua, Nur Alam terbukti menerima gratifikasi sebesar 4,499 juta dolar AS atau senilai Rp40,268 miliar.
Uang itu diterima sebesar 2,499 juta dolar AS pada September-Oktober 2010, yang ditempatkan di rekening AXA Mandiri Financial Service dari rekening Chinatrust Commericial Bank Hongkong atas nama Richcorp International Ltd.