FAKTA Kedubes Inggris Kibarkan Bendera LGBT: Desak Negara Lain Turut Dukung hingga Tuai Kritik
kedutaan Besar Inggris di Jakarta memasang bendera LGBT di halaman Kedutaan Inggris, Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Penulis: Milani Resti Dilanggi
Editor: Inza Maliana
TRIBUNNEWS.COM - Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di Jakarta memasang bendera LGBT di halaman Kedutaan Inggris di Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Pengibaran bendera pelangi yang menjadi simbol LGBT itu diunggah melalui akun media sosial resmi @ukinindonesia.
Diketahui, hal tersebut sebagai bentuk peringatan International Day Against Homophobia, Biphobia, dan Transphobia (IDAHOBIT) yang jatuh setiap tanggal 17 Mei.
Berikut fakta dari aksi pengibaran bendera LGBT yang menuai kritik dari sejumlah pihak.
Baca juga: Alasan Kedubes Inggris Kibarkan Bendera LGBT hingga Jadi Polemik di Tanah Air
Baca juga: Beda Tanggapan MUI-Muhammadiyah dengan NU soal Pengibaran Bendera LGBT di Kedubes Inggris
Alasan Kibarkan Bendera LGBT
Diketahui, aksi Kedubes Inggris ini untuk memberikan dukungan terhadap nilai kemanusiaan dan dorongan untuk menghapus diskriminasi terhadap orientasi seksual.
Pihaknya mendukung LGBT lantaran merupakan bentuk hak asasi manusia.
Kedubes Inggris juga menilai tak perlu ada rasa malu atau bersalah terhadap eksistensinya tersebut.
“Inggris menyatakan bahwa hak LGBT+ adalah hak manusia yang mendasar. Cinta adalah hal yang mulia.
Siapapun, dimanapun, harus bebas untuk mencintai yang dicintai serta mengekspresikannya tanpa takut atas kekerasan atau adanya diskriminasi
Mereka seharusnya tidak memiliki untuk menderita dengan rasa malu atau bersalah atas apa yang ada di dalam diri mereka,” tulis Kedubes Inggris di akun Instagram resminya, dikutip Minggu (22/5/2022).
Lebih lanjut, Kedubes Inggris mengklaim kriminalisasi terhadap LGBT masih terjadi di beberapa negara di dunia.
Sehingga, ia ingin membantu memastikan LGBT merasa aman dan diperlakukan secara adil.
“Sejarah LGBT+ sepanjang sejarah manusia. Seksualitas adalah bagian dari kemanusiaan. Namun kriminalisasi masih terjadi di 71 negara untuk tindakan sesama jenis, di 15 negara untuk ekspresi dan/atau identitas gender melalui ‘cross-dressing’, dan di 26 negara untuk semua transgender. Pelecehan dan kekerasan adalah bagian rutin dari kehidupan LGBT+, di mana saja.