Bantah Dalil Pembunuhan Berencana, Pengacara Kolonel Priyanto: Korban dan Terdakwa Tak Saling Kenal
Kuasa hukum terdakwa Kolonel Priyanto membantah dalil pembunuhan berencana terkait kecelakaan di Nagreg Jawa Barat.
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum terdakwa Kolonel Priyanto membantah dalil pembunuhan berencana terkait kecelakaan di Nagreg Jawa Barat.
Dikutip dari Kompas.com, Letnan Satu Chk Feri Arsandi, mengatakan bahwa Kolonel Priyanto tidak memiliki niat dan motif menghilangkan nyawa sejoli Handi Saputra (17) dan Salsabila (14).
Hal itu kata Feri karena Kolonel Priyanto tidak kenal dengan keduanya.
"Dalam perkara ini terungkap bahwa terdakwa dari awal tidak ada niat dan motif untuk menghilangkan nyawa korban," kata Feri dalam sidang beragendakan duplik atau tanggapan atas replik oditur di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Feri menyebutkan, hal itu dapat dibuktikan dari fakta yang terungkap dalam persidangan.
"Terdakwa dan korban Handi Saputra dan Salsabila tidak pernah kenal dan tidak pernah bertemu," ujar Feri.
Kemudian, kata Feri, antara Priyanto, Handi, dan Salsabila tidak pernah ada suatu permasalahan yang menimbulkan niat bagi terdakwa untuk menghilangkan nyawa keduanya.
Feri melanjutkan bahwa perkara ini murni disebabkan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Rabu (8/12/2021).
Baca juga: Oditur Militer Tinggi Tunjukkan Kolonel Priyanto Penuhi Unsur Sengaja di Pasal Pembunuhan Berencana
Atas hal itu, penasihat hukum Priyanto menilai bahwa dalil oditur militer untuk membuktikan adanya unsur pembunuhan berencana sebagaimana Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada.
Sebelumnya, Oditur Militer Tinggi (Odmilti) Kolonel Sus Wirdel Boy menjelaskan hubungan antara motivasi terdakwa secara bersama-sama membuang Handi Saputra dan Salsabila ke sungai dan penyebab kematian Handi.
Wirdel menyebutkan, Priyanto berkali-kali menyampaikan bahwa membuang Saudara Handi Saputra dan Salsabila ke sungai dimaksudkan agar korban tersebut hanyut ke laut atau dimakan binatang, sehingga bukti kecelakan tidak dapat ditemukan atau hilang.
Sebagai ilustrasi, Wirdel menyampaikan satu kasus seorang yang ingin merampok uang di dalam brankas tetapi didahului dengan menggorok satpam yang mejaga brankas tersebut atau seorang yang bermaksud membunuh pengusaha dengan cara melemparkan bom ke dalam kendaraan yang mana dalam kendaraan tersebut juga ada sopir dan sekretaris.
Dalam kasus tersebut, kata dia, sang perampok bukan cuma dihukum atas perampokan uang, tapi juga harus tanggung jawab kematian seorang satpam.
Baca juga: Oditur Militer Tinggi Bakal Beri Bantahan Atas Pembelaan Kolonel Priyanto dalam Sidang Hari Ini
Begitu pun dengan pembunuh seorang pengusaha, lanjut dia, akan dituntut atas kematian pengusaha sopir dan sekretaris.
Oleh karena itu, kata Wirdel, dapat dipastikan apabila leher digorok akan menimbulkan kematian, sama halnya dengan ledakan bom terhadap nyawa seseorang.
Hal tersebut disampaikan dalam sidang dengan agenda replik di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Selasa (17/5/2022).
"Sehubungan dengan perkara terdakwa yang telah membuang Handi Saputra dan Salsabila ke sungai, pada kenyataanya saudara Handi dalam keadaan hidup atau pingsan sesuai keterangan saksi ahli di dalam visum et repertum," kata Wirdel.
Priyanto, kata dia, mengetahui bahwa membuang seseorang yang pingsan atau tidak berdaya pasti akan mengakibatkan kematian.
"Kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa bersama saksi 2 dan 3 adalah kesengajaan sebagai kepastian. Sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan kematian Handi Saputra," kata Wirdel.
Baca juga: Oditur Militer Tinggi Buka Hasil Autopsi Handi Saputra Dalam Sidang Kolonel Priyanto
Sebagaimana uraian fakta yang disampaikannya, kata dia, Oditur Militer Tinggi berkesimpulan bahwa pembelaan yang dibacakan oleh tim penasehat hukum terdakwa merupakan versi dari penasehat hukum terdakwa yang intinya telah disampaikan perbedaannya dengan tuntutan pihaknya
Sehingga dengan uraian tersebut, kata dia, Oditur Militer Tinggi berpendapat tidak ada kekeliruan dalam pembuktian unsur dan penerapan hukum dalam tuntutan.
Diketahui, Priyanto dituntut pidana penjara seumur hidup dan dipecat atas kasus penabrakan sejoli Handi dan Salsabila di Nagreg.
Tuntutan dibacakan oditur militer di Pengadilan Militer Tinggi II, 21 April 2022. Priyanto dinilai terbukti secara sah dan menyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, melakukan penculikan, dan menyembunyikan mayat.
Priyanto dan dua anak buahnya membuang tubuh Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu usai menabrak sejoli tersebut di Nagreg pada 8 Desember 2021.
Ia bersama dua anak buahnya, Kopda Andreas Dwi Atmoko dan Koptu Ahmad Soleh, kemudian menjalani persidangan dan menjadi terdakwa.
Hasil visum korban dipertanyakan
Tim penasehat hukum terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terkait kecelakaan di Nagreg Jawa Barat, Kolonel Inf Priyanto, mempertanyakan hasil visum terhadap korban Handi Saputra.
Anggota tim penasehat hukum Priyanto Lettu CHK Feri Arsandi menyampaikan dalam duplik yang dibacakannya hasil visum tersebut dipertanyakan karena terdapat keterangan dari dokter yang mengautopsi Handi, Muhamad Zainuri Syamsu Hidayat yang berbeda dalam tuntutan dan dalam replik Oditur Militer Tinggi.
Perbedaan tersebut, kata dia, dalam tuntutan halaman 47 nomor 6, Zainuri disebut mengatakan bahwa yang berkaitan dengan waktu kematian sulit ditentukan karena telah mengalami pembusukan lanjut dan ditemukan belatung di sekitar puting susu, lipatan leher, telinga dan liang mulut dengan panjang sekitar 1,2 cm.
Keterangan Zainuri, kata Feri, menyebutkan bahwa kematian korban Mr X berjenis kelamin laki-laki yang belakangan diketahui sebagai Handi sulit ditentukan.
Artinya, lanjut dia, bahwa Zainuri tidak bisa menyimpulkan kapan Handi meninggal perihal saat terjadi laka lalin atau saat dibuang ke sungai.
Sementara dalam replik oditur militer, lanjut dia, dikatakan bahwa kematian Handi disebabkan karena tenggelam dalam keadaan tidak sadar.
Dari perbedaan keterangan mengenai penentuan kematian Handi, lanjut dia, dapat disimpulkan terdapat keragu-raguan atau ketidakkonsistenan Zainuri.
"Timbul pertanyaan mengenai hasil temuan visum yang menerangkan tampak sedikit pasir halus menempel di dinding rongga tenggorokan, apakah pasir halus tersebut masuk ke rongga saat korban tertabrak mobil yang dikemudikan saksi 2 sehingga korban jatuh ke jalan dan menghirup debu dan pasir halus di jalan," kata Feri dalam sidang di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta pada Selasa (24/5/2022).
Selain itu, lanjut dia, karena memang terlihat saat olah TKP kondisi jalan raya tempat terjadinya laka lalin ada debu dan pasir halus.
Baca juga: Hari Ini, Sidang Duplik Kolonel Priyanto Digelar di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tim penasehat hukum Priyanto mengemukakan pendapat M Yahya Harahap SH dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP halaman 294.
Feri mengatakan, Yahya menyatakan pada alat bukti kesaksian tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan.
Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, lanjut dia, mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas.
Oleh karena itu, kata dia, alat bukti kesaksian ssbagai alat bukti yang sah tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan yang menentukan atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat.
Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, lanjut dia, sama sekali tidak mengikat hakim.
Hakim, kata dia, bebas menilai kesempurnaan dan kebenarannya tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak dan tidak ada keharusan hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi.
Hakim, kata dia, bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu dan dapat menerima atau menyingkirkannya.
"Bahwa merujuk pada pendapat ahli hukum M Yahya Harahap di atas kami berkesimpulan bahwa keterangan saksi 22 tidak bisa memastikan kematian korban atas nama Handi Saputra," kata Feri.
Ia pun menegaskan kembali bahwa menurut catatan tim penasehat hukum Priyanto, Zainuri dalam persidangan mengatakan bahwa orang awam dapat menilai bahwa korban seperti kecelakaan bisa saja menilai kalau korban sudah meninggal apabila korban sudah tidak bergerak lagi apalagi orang yang di dalam keadaan panik karena telah menabrak orang.
Hal tersebut, kata dia, berkesusaian dengan keterangan terdakwa, saksi 2, dan saksi 3 yang mengatakan bahwa saat terdakwa mengangkat korban laki-laki tidak ada tanda kehidupan.
Selain itu, kata dia, terdakwa tidak melihat gerakan, dan tidak adanya napas dari korban.
"Sehingga kesimpulan terdakwa bahwa korban sudah dalam keadaan meninggal dan Koptu Ahmad Soleh mengetahui akan hal tersebut," kata dia. (Tribunnews/Gita/Kompas.com)