BPOM: Pelabelan BPA pada Galon Tak Matikan Industri, Murni untuk Lindungi Masyarakat
Draf revisi regulasi pelabelan BPA pada galon guna ulang sudah diserahkan ke Sekretariat Kabinet dan sudah mendekati ketuk palu.
Penulis: Anniza Kemala
Editor: Bardjan
Sebagai perbandingan, sejak 2019, Indonesia mematok level migrasi BPA 0,6 bpj sebagai syarat yang wajib dipatuhi produsen pangan, termasuk produsen galon guna ulang polikarbonat yang mengandung BPA.
Namun, hasil pengecekan pascapasar yang dilakukan BPOM atas galon guna ulang yang beredar luas periode 2021-2022 menunjukkan level migrasi BPA melewati ambang batas aman.
"Hasil pengecekan menunjukkan ada 3,4 % dari total sampel galon air minum pada sarana distribusi dan peredaran yang level migrasi BPA-nya sudah di atas ambang batas aman 0,6 bpj," jelasnya
Sementara itu, hasil uji juga menunjukkan level migrasi yang mengkhawatirkan, yakni berada di antara ambang batas 0,05-0,6 bpj. Hasil tersebut mencapai 46,97 % dari total sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 30,91 % pada sarana produksi.
"Ini artinya migrasi BPA pada galon guna ulang sudah sangat mengkhawatirkan dan karena itulah BPOM hadir untuk menyusun regulasi terkait pelabelan risiko BPA," lanjut Rita.
Menurutnya, sejumlah negara seperti Prancis dan Brasil bahkan telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata.
"Di Perancis sudah nggak ada lagi lho galon yang mengandung BPA," katanya.
Dorong iklim kompetisi sehat pada industri AMDK bermerek
Tak lupa, Rita juga merespons pandangan kontra dari industri AMDK atas draf regulasi pelabelan BPA tersebut. Dalam berbagai kesempatan, asosiasi perusahaan AMDK mengklaim pelabelan akan memicu lonjakan volume sampah plastik karena konsumen akan beralih ke galon sekali pakai yang notabene bebas BPA.
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi, tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan. Urusan sampah adalah tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsen yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaur ulang," sambung Rita.
Lebih lanjut dijelaskan, pelabelan BPA tak bermaksud mematikan industri AMDK. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk galon air minum bermerek yang berizin edar.
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," kata Rita. Ia menjabarkan bahwa sejauh ini sudah ada 6.700 izin edar air kemasan yang dikeluarkan BPOM.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek.
Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahunnya, papar Rita, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari angka tersebut, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.