Wamenkumham Sebut Jutaan Orang Dipidana dengan KUHP yang Tidak Pasti
Wamenkumham Eddy Hiariej menyebut terdapat jutaan orang dipidana dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak pasti.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyebut terdapat jutaan orang dipidana dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak pasti.
Hal ini mengingat, KUHP yang berlaku merupakan warisan Kolonial Belanda.
Dalam perjalanannya, terdapat terjemahan KUHP versi R Soesilo dan Moeljatno.
"Dengan secara tegas saya menyatakan, bapak ibu bisa bayangkan jutaan orang dipidana dengan KUHP yang tidak pasti dan perbedaan-perbedaan prinsip itu tidak hanya rumusan delik, tetapi di dalam sanksi pidana, itu perbedaannya sangat panjang," ucap Eddy dalam diskusi virtual RUU KUHP di Jakarta bersama Forum Pemred Indonesia, Kamis (23/6/2022).
Eddy mencontohkan sejumlah perbedaan dalam KUHP versi Soesilo dan Moeljatno.
Baca juga: Pemerintah Akomodir 14 Aturan Krusial di RUU KUHP, 2 Lainnya Diusulkan Dihapus
Pasal 110 KUHP tentang pemufakatan jahat misalnya.
Dalam versi Soesilo, ancaman hukumannya 6 tahun penjara.
Sementara, Moeljatno menyatakan, dipidana sama dengan kejahatan itu dilakukan, berarti pidana mati.
"Itu gradasi yang luar biasa. Cuma kadang-kadang para lawyer tak pernah membaca naskah asli Wetboek van Strafrecht saya punya terbitan 1915. Jadi enggak ngerti, apa itu akan terus menerus mengadili orang dengan kitab undang-undang yang tidak pasti," ujar Eddy.
Baca juga: Polemik LGBT Kian Masif, Anggota Komisi VIII DPR Dorong Pengesahan RUU KUHP
Eddy menerangkan, perbedaan-perbedaan dalam KUHP versi Soesilo dan Moeljatno merupakan salah satu fakto yang mendorong pemerintah berupaya menyusun KUHP.
Namun, selama hampir 64 tahun sejak 1958, upaya tersebut belum membuahkan hasil.
"Tetapi saya selalu menghibur diri bahwa Belanda yang hanya sebesar Jawa Barat dengan homogen masyarakat itu membutuhkan waktu 70 tahun, tetapi dengan kita yang multietnis, multireligi, multikultur tentunya memang membutuhkan pembahasan panjang dan saya kira itu tidak menjadi persoalan," katanya.