Jadi Nama Jalan di DKI, Berikut Sepak Terjang Pak Tino Sidin Pejuang '45 dan Guru Cucu Soeharto
Salah satu nama Jalan Cikini VII di Keluharan Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat dirubah menjadi Jalan Tino Sidin.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi mengganti 22 nama jalan dengan nama-nama tokoh Betawi.
Salah satu nama Jalan Cikini VII di Keluharan Cikini, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat dirubah menjadi Jalan Tino Sidin.
Pergantian nama jalan tersebut pun menuai pro-kontra di kalangan Masyarakat. Sebagian warga Cikini bahkan tak sepakat nama jalan itu diganti menjadi Jalan Tino Sidin. Dan mengusulkan nama tokoh masyarakat setempat untuk mengganti Jalan Cikini VII.
Lalu, bagaimana respons keluarga soal penamaan Jalan Tino Sidin di kawasan Cikini, Jakarta? Dan, siapa sosok Tino Sidin sebenarnya?
Baca juga: Warga Sambut Baik Kebijakan Anies Baswedan Ubah Nama 22 Jalan di Jakarta Pakai Nama Tokoh Betawi
Tribun network berkesempatan berbincang langsung dengan putri kelima Tino Sidin, Panca Takariyati (56), pada Selasa (28/6).
Panca mengungkapkan, bahwa pihak keluarga sangat mengapresiasi karena Pemprov DKI Jakarta mengubah nama Jalan Cikini VII menjadi Jalan Tino Sidin.
Menurutnya, meski nama Jalan Tino Sidin bukan yang pertama, karena di Yogyakarta sudah ada nama jalan tersebut, namun pihak keluarga sangat bangga dan senang itu.
Panca juga menjawab soal pro kontra yang terjadi saat ini. Dimana, sejumlah warga Jalan Cikini VII menolak nama tempat tinggal mereka diubah menjadi Jalan Tino Sidin.
Ia pun berharap, warga di Jalan Cikini VII bisa menerima keputusan Pemprov DKI tersebut.
Tak hanya itu, Panca juga membagikan kisah soal sisi lain Tino Sidin yang hanya dikenal sebagai guru menggambar di stasiun tv.
Berikut hasil wawancara tribun network dengan dengan putri kelima Tino Sidin, Panca Takariyati;
Bagaimana respons keluarga saat mendengar kabar nama Bapak Tino Sidin akan dijadikan nama jalan menggantikan Jalan Cikini VII, Jakarta?
Terus terang Kami senang, bangga, bahagia karena nama Bapak Tino di apresiasi sebagai jalan. Jalan yang di Jakarta itu jalan kedua, Jalan pertama itu di Yogyakarta, Jalan Tino Sidin di depan rumah kami. Terus yang di Jakarta itu ya kami apresiasi sekali karena kan di Ibukota Negara dan di Pusat di Jakarta Pusat.
Baca juga: 22 Nama Jalan Diganti dengan Nama Tokoh Betawi, Anies Baswedan Disebut Kurang Kerjaan
Sebelumnya, apa Pemrov DKI Jakarta komunikasi dengan Ibu Panca dan pihak keluarga akan menjadi nama Bapak sebagai nama jalan?
Kita dihubungi itu, acaranya tanggal 20, hari Senin. kita dihubungi hari Jumat untuk datang datang ke Jakarta, untuk pemberian nama itu, upacara pemberian nama di Jagakarsa.
Iya, tapi kita tahunya mendadak, maksudnya tau-tau diapresiasi, dikasih undangan.
Kira-kira menurut Ibu, apa pesan yang ingin disampaikan oleh Pemprov DKI terkait pemberian nama Bapak sebagai nama jalan? Mengenang Bapak Tino seperti apa?
Kalau kami, Pak Tino itu memang tokoh Betawi dan Jakarta. Itu dalam arti nasional ya, tapi dia di tahun 1978 sampai wafatnya tinggal 'wira-wiri' di Jakarta. Jadi Pak Tino mulai tahun 1978 'wara-wiri' rumah di Jogja dan Jakarta. Dan bahkan meninggalnya di Jakarta.
Terus, Pak Tino selain menggambar, mengisi acara gemar menggambar di TVRI, beliau kan juga waktu itu punya sanggar-sanggar menggambar di Jakarta. Ada beberapa titik sanggar, ada 10an itu dari Pasar Seni, Mal Blok M, Lotus, Jatinegara dan sebagainya. Jadi hampir tiap sore Pak Tino ngajar gambar.
Selain setiap minggunya di TVRI, trus kemudian on air di satu minggu di daerah-daerah.
Posisi Pak Tino memang tidak hanya sebagai guru gambar, tapi sebenarnya sisi lain Pak Tino kan adalah seorang pejuang angkatan 45, kemudian aktif di Pramuka, dan sebagainya.
Terus, nama-nama sanggarnya Pak Tino kan, sanggarnya Pak Tino, Taman Dino Sidin. Jadi waktu itu Pak Tino memberi nama Taman Tino Sidin katanya terinspirasi dari nama Taman Ismail Marzuki. Karena, memakai nama Ismail Marzuki. Makannya, nama sanggaranya diberi nama Taman Tino Sidin 1, Taman Tino Sidin 2 dan seterusnya.
Baca juga: Batik Betawi Dipamerkan di Jakarta Fashion Trend 2022
Kemudian, sekarang nama beliau diapresiasi sebagai nama jalan di daerah Cikini, dekat-dekatan dengan Taman Ismail Marzuki. Jadi kami keluarga mengapresiasi itu walaupun akhirnya ada pro kontra ya. Tapi kami tidak bisa istilahnya di luar wewenang kami.
Terkait pro kontra ini, ada tanggapan dari pihak keluarga?
Kalah kami ya pro kontra, kami mengapresiasi, lah wong namanya pe dapat itu demokrasi. Tapi disis lain kami mengapresiasi usaha dari Pemprov DKI. Jadi kami pun momggo nanti gimana itu kan manut Pemprov DKI, apakah mau terus atau sudah.
Tapi pada intinya kami mengapresiasi langkah dari pemprov DKI untuk mengapresiasi nama Pak Tino walaupun satu-satunya nama di luar nama tokoh betawi asli.
Pemprov DKI sempat menyampaikan alasan pemberian nama Pak Tino sebagai jalan atau hanya meminta izin ke pihak keluarga?
Yaa mungkin mereka sudah tau sendiri, Pak Tino tadi tokoh yang istilahnya ikut membangun Jakarta. Memang secara tidak langsung kan Pak Tino tinggal di Jakarta tahun 1978 sampai wafatnya dj sana. Dalam arti membangun tidak hanya fisik tapi membangun karakter jiwa-jiwa orang Jakarra walaupun Pak Tino tvnya menasional. Tapi saat itu tinggalnya wira-wiri Jogja-Jakarta.
Harapan dari keluarga soal nama Bapak Tino yang dijadikan nama jalan di kawasan Cikini?
Ya harapannya kami semoga masyarakat jakarta menerima nama pemberian nama Pak Tino Sidin. Sebagai nama jalan.
Sebetuknya, Pak Tino buka sekedar guru gambar, dia juga pejuang.
Pejuang '45 hingga Sukarelawan Ganyang Malaysia 1964
Panca juga membagikan semaja perjuangan Tino Sidin saat perang kemerdekaan 1945. Dimana, ia bercerita bahwa Tino Sidin perernah menurunkan bendera Jepang saat peristiwa Tebing Tinggi Berdarah pada 13 Desember 1945.
"Pak Tino Sidin ditugasi Pak Deblot Sundoro (pamong taman siswa di Tebing Tinggi) menurunkan bendera Jepang. Esok harinya kemudian Jepang ngamuk. Pak Deblot Sundoro dibunuh dan pemuda-pemuda Tebing banyak yang diciduk dan ditembaki. Sampai sekarang peristiwa tersebut masih di peringati tiap tahun," ungkap Panca.
Baca juga: Google Doodle Spesial Hari Guru Nasional 2020, Berikut Profil Tino Sidin, Pelukis Terkenal Indonesia
Lalu, pada tahun 1946, Tino Sidin ke Yogyakarta menumpang kapal Sri Sultan HB IX yang waktu itu ada kunjungan ke Medan/Prapat.
Kemudian Tino mondok di rumah Ki Darmosugito (sekarang hotel (imaran) dan menyusul sahabatnya yang datang lebih dulu ke Yogyakarta yaitu Nasjah Djamin dan Daoed Joesoef untuk bljr lukis di sanggar SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan pelukis S.Soedjojono.
Tino, Daoed dan Nasjah Djsmin pun mendirikan ASRI (Angkatan Seni Rupa Indonesia)nMedan yaitu sanggar lukis anak muda di (Medan dan Binjai Sumut).
Mereka belajar lukis tidak lama karena terus ikut berperang masuk di Tentara Pelajar.
"Pak Tino ikut TP gerilya pimpinan Pak Martono yang saat Orde Baru pernah jadi menteri Transmigrasi. Saat agresi Belanda I tahun 1947 tepatnya 29 juli 1947. Saat jatuhnya Pesawat Dakota Pak Tino saat ngajar pramuka/pandu di depan pendopo Taman Siswa melihat pesawat jatuh, menolong korban-korban yang jatuh Adi Sucipto, Adi Sumarmo, Abdulrahman Saleh ke RS petronela / bethesda," tuturnya.
Peran Tino bersama rekannya juga terekam dalam ingatan Panca saat agresi militer Belanda II tahun 1948.
"Pak Tino dan Pak Nasjah ikut long march Siliwangi ke arah barat dan Pak Daoed ke Utara Salatiga. Mereka ketemu 1949 di Jakarta kemudian tinggal di markas taman siswa," ujarnya.
Lalu, tahun 1961 - 1964, Tino mendapat bea siswa pampasan perang Jepang belajar melukis di Akademi Seni Rupa Yogyakarta (sekarang ISI Yogya).
Tino juga dekat dengan Presiden Pertana RI Ir. Soekarno atau Bung Karno karena ilmu kebathinan/tenaga dalam..
Di tahun 1963-1967, Tino memback up spiritual keamaman Bung Karno. Bahkan tahun 1964, Tino melalui surat dari Sekneg ditugasi Bung Karno mengkoordinir ahli-ahli kebathinan mensukseskan tentara yang dikirim dalam peristiwa Ganyang Malaysia.
Di zaman orde baru, Tino aktif di kesenian mengajar acara Gemar menggambar di TVRI Yogja 1969-1978. Kemudian pindah ke TVRI Nadional Jakarta di tahun 1978 sd 1990.
Bahkan, Tino mengajar gambar cucu-cucu Presiden Soeharto. Hal itu dibagikan oleh Panca lewat foto-foto dokumentasi keluarga saat Tino berfoto dengan Presiden Soeharto dan Ibu Siti Hartinah atau Tien.
Tino lahir pada 25 November 1925 di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Ia wafat pada 29 Desember 1995 di Jakarta. (tribun network/yuda).