Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perwira Aktif Jadi Pj Gubernur Aceh, Harus Dipastikan Pensiun dari TNI atau Alih Status Jadi ASN

pemerintah harus transparan dan segera menyusun mekanisme baku pengisian jabatan kepala daerah itu. 

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Perwira Aktif Jadi Pj Gubernur Aceh, Harus Dipastikan Pensiun dari TNI atau Alih Status Jadi ASN
HO/Tribunnews.com
Mayjen TNI Achmad Marzuki yang akan dilantik Jadi Pj Gubernur Aceh. Perwira Aktif Jadi Pj Gubernur Aceh, Harus Dipastikan Pensiun dari TNI atau Alih Status Jadi ASN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menanggapi kabar akan dilantiknya Mayjen TNI Achmad Marzuki  menjadi Penjabat Gubernur Aceh, Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat tidak ada yang salah dari hal tersebut secara prosedural.

Itu karena menurutnya sebelum dilantik, Marzuki sudah terlebih dulu ditunjuk menjadi pejabat eselon I di lingkungan Kemendagri. 

"Namun harus dipastikan dulu, yang bersangkutan itu dipensiun dari TNI atau alihstatus menjadi ASN/PNS?" kata Fahmi ketika dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (5/7/2022).

Kedua hal itu, kata dia, punya perbedaan secara hukum.

Meski menurutnya dengan dinyatakan pensiun dari TNI maka Marzuki sudah berstatus sipil, namun seingatnya tidak ada aturan yang menyebut bahwa penjabat kepala daerah boleh diisi sipil non ASN maupun pensiunan. 

Baca juga: Pj Gubernur Aceh dari Militer Aktif, KontraS: Melecehkan Semangat Reformasi

Demikian pula, kata dia, terkait jabatan Staf Ahli Menteri yang mestinya adalah jabatan ASN.

"Seperti pada waktu penunjukan Tanri Bali Lamo menjadi pejabat Gubernur Sulbar di masa lalu, yang bersangkutan menjalani proses alih status dulu dari Perwira Tinggi TNI menjadi PNS dengan jabatan eselon I di Kemendagri. Setelah itu baru di-SK-kan sebagai pejabat Gubernur dan dilantik. Jadi bukan pensiun," kata Fahmi.

Berita Rekomendasi

Selain itu, kata dia, perlu juga dilihat apakah Panglima TNI telah mengeluarkan keputusan terkait atau belum.

Hal tersebut, kata dia, untuk memastikan perihal Marzuki pensiun dan dikeluarkan juga dari formasi TNI, atau alih status menjadi PNS.

"Kalau belum beres sudah dilantik, itu potensi maladministrasi," kata dia.

Selain itu menurutnya, hal yang harus dikritisi adalah bagaimana nalar yang dibangun dalam pengisian pejabat kepala daerah.

Menurutnya, basis argumennya lemah jika nalar yang dibangun adalah soal pertimbangan kerawanan baik dari sisi keamanan daerah maupun keamanan penyelenggaraan pemilu.

"Faktanya, gubernur definitif sebelumnya kan sipil dan baik-baik saja menjabat lima tahun. Nah kenapa ketika diganti pejabat gubernur, yang harus mengisi harus berlatar belakang TNI atau Polri?" kata Fahmi.

Menurutnya pemerintah harus transparan dan segera menyusun mekanisme baku pengisian jabatan kepala daerah itu. 

Bagaimanapun, kata dia, publik masih sulit untuk yakin bahwa pelibatan TNI dan Polri selalu didasarkan pada niat baik rezim yang berkuasa. 

Apalagi, kata dia, jika tak ada regulasi yang mengatur pelibatan itu secara ketat dan tegas, sementara rezim sebaik apapun, usianya paling lama 10 tahun.

"Menggunakan ketentuan-ketentuan terkait mekanisme pengisian jabatan pimpinan tinggi aparatur sipil negara yang tersedia saat ini saja saya kira tidak cukup," kata Fahmi.

Kedudukan Penjabat Kepala Daerah menurutnya bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi madya atau pratama biasa. 

Kedudukan mereka, kata dia, bisa dibilang nyaris setara dengan kepala daerah definitif yang oleh konstitusi diatur mekanisme pengisiannya harus melalui proses pemilihan umum untuk mendapatkan mandatnya. 

"Nah, apakah fair jika pengisian penjabat kepala daerah itu kemudian hanya berdasarkan mekanisme dan prosedur administrasi kepegawaian, tanpa adanya manifestasi dan representasi legitimasi dan mandat dari rakyat?" kata Fahmi.

"Saya kira tidak. Itu jelas tidak senafas dengan amanat konstitusi dan jauh dari cita-cita reformasi," lanjut dia.

Ia mencontohkan penunjukan duta besar yang harus melalui proses persetujuan parlemen.

Fahmi pun mempertanyakan, mengapa opsi tersebut tidak dibuka untuk pengisian penjabat kepala daerah? 

"Misalnya persetujuan DPR RI utk penjabat gubernur dan persetujuan DPRD Provinsi utk penjabat Bupati/Walikota. Opsi itu saya kira lebih fair, legitimate dan transparan," kata dia.

Sebelum membenahi dan menyempurnakan aturan main, memurutnya pemerintah sebaiknya tak memaksakan diri melibatkan atau menggunakan TNI/Polri secara massif untuk mengisi kekosongan kepala daerah.

"Masyarakat jangan diakali terus," kata Fahmi.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas