Bahas Kesehatan Global, Penanggulangan Tuberkulosis Jadi Prioritas Negara G20
Tuberkulosis merupakan penyakit menular paling mematikan dan tertinggi di dunia sebelum terjadinya pandemi COVID-19.
TRIBUNNEWS.COM - Tuberkulosis merupakan penyakit menular paling mematikan dan tertinggi di dunia sebelum terjadinya pandemi COVID-19.
Maka itu, pada rangkaian Presidensi G20 Indonesia 2022, tuberkulosis menjadi salah satu dari tiga isu penting yang diangkat dalam Kesehatan Global, selain isu One Health dan resistensi antimikroba.
Dalam pembahasannya bersama negara-negara anggota G20, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, selaku Ketua Health Working Group (HWG) G20, menyelenggarakan pertemuan tingkat Menteri pertama pada 20 Juni 2022 lalu di Yogyakarta.
Pada pertemuan ini HWG melaporkan pembahasan side event tentang Tuberkulosis dan One Health yang telah diselenggarakan pada Maret dan awal Juni, serta topik resistensi antimikroba yang akan menjadi side event pertemuan HWG ketiga Agustus nanti.
Dalam pertemuan side event tuberkulosis pada pertemuan Health Ministerial Meeting 1 (HMM 1) bersama para pimpinan Kesehatan Negara G20, Guru Besar Universitas Gajah Mada dan Dewan Pengarah BRIN, Prof. Adi Utarini menyampaikan bahwa mengakhiri tuberkulosis adalah bagian dari respon multisektoral dalam pendekatan One Health dan memerangi resistensi antimikroba.
“Namun, hambatan terbesar langkah awal dunia mengeliminasi tuberkulosis adalah kurangnya pendanaan. Diperlukan investasi yang lebih signifikan untuk penelitian dan peningkatan kapasitas sistem kesehatan mengimplementasikan inovasi dan teknologi yang direkomendasikan WHO, termasuk vaksinasi baru dan penggunaan data real-time,” jelas Prof. Adi.
Perlu diketahui, pandemi Covid-19 yang terjadi telah mengakibatkan kemunduran dalam upaya mencapai eliminasi tuberkulosis 2030 sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Namun, kondisi ini justru membuka peluang untuk meningkatkan investasi dan kualitas penanggulangan tuberkulosis mengingat keduanya memiliki persamaan.
Tuberkulosis dan Covid-19 sama-sama menular melalui udara dan mengoptimalkan sumber daya sistem kesehatan yang serupa, yaitu tenaga ahli paru, laboratorium, mesin diagnostik, promosi kesehatan serta pencarian kasus.
Hal ini pun akhirnya berdampak baik dengan menurunnya temuan orang dengan tuberkulosis di Indonesia di masa pandemi, yaitu dari 568.987 di tahun 2019 menjadi 443.235 kasus di tahun 2021.
Pentingnya investasi untuk penanganan tuberkulosis
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership, Lucica Ditiu menyampaikan bahwa mengatasi tuberkulosis dan COVID-19 seharusnya tidak menjadi dilema bagi negara-negara G20 sehingga penyakit menular melalui udara di masa depan dapat dan harus ditangani secara bersamaan.
“Investasi dalam penanggulangan tuberkulosis sangat berguna untuk memerangi COVID oleh karena itu kita perlu berinvestasi dengan cerdas untuk mengatasi beberapa penyakit secara bersamaan serta merespon pandemi di masa depan. Untuk itu, Pemerintah G20 perlu meningkatkan investasi karena jika tidak, biayanya akan terus ditanggung oleh individu dan keluarga yang terkena dampak kesehatannya,” jelas Lucica.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof. Tjandra Yoga Aditama, yang turut hadir pada side event tuberkulosis mengakui bahwa Presidensi Indonesia membuahkan legacy dalam upaya dunia memerangi penyakit tersebut di tingkat global.
“Dalam pertemuan HMM, Negara G20 menyatakan ingin memprioritaskan investasi dalam penanggulangan tuberkulosis untuk vaksin yang efektif, artificial intelligence untuk diagnosis, dan real-time data surveillance. Oleh sebab itu, upaya kolektif G20 mengatasi tuberkulosis perlu mengoptimalkan peran dan keterlibatan sektor swasta di G7 maupun Global South countries,” ungkapnya.
Prof. Tjandra menambahkan, para peneliti, pengusaha, dan perusahaan di Indonesia mempunyai peluang dalam penelitian maupun manufaktur untuk terlibat memecahkan permasalahan dalam mengakhiri tuberkulosis di Indonesia maupun secara global.
Senada dengan itu, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) yang turut menghadiri pertemuan HWG G20 pada side events dan HMM 1 pun mengapresiasi kepemimpinan Menteri Budi G. Sadikin dalam menggalang kerja sama multilateral untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis.
Ketua Yayasan STPI dr. Nurul Nadia Luntungan, MPH mengungkapkan bahwa kepemimpinan Indonesia telah berhasil memfokuskan Negara anggota G20 untuk menggalang investasi penanggulangan tuberkulosis.
“Baik melalui kebijakan domestik maupun internasional serta dukungan yang kuat untuk 7th replenishment Global Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis and Malaria,” ungkap dr. Nurul.
Dirinya pun mengimbau untuk selanjutnya Pemerintah Indonesia perlu memastikan penyelarasan agenda peningkatan investasi ini di nasional dan sub-nasional.
“Hal ini karena berdasarkan WHO Global TB Report 2021, masih ada gap USD 515 juta untuk program tuberkulosis di Indonesia,” tutupnya.