Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

MK Tolak Legalisasi Ganja Medis untuk Kesehatan, Sarankan Pemerintah-DPR Revisi UU Narkotika

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak gugatan uji materi terhadap UU Narkotika, salah satunya soal ganja untuk medis.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in MK Tolak Legalisasi Ganja Medis untuk Kesehatan, Sarankan Pemerintah-DPR Revisi UU Narkotika
Tribunnews.com
Ilustrasi palu. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan uji materi terhadap UU Narkotika yang salah satunya diajukan oleh Santi Warastuti, seorang ibu yang anaknya menderita Cerebral Palsy. Gugatan itu salah satunya adalah melegalisasi ganja untuk medis. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak gugatan uji materi terhadap UU Narkotika yang salah satunya diajukan oleh Santi Warastuti, seorang ibu yang anaknya menderita Cerebral Palsy. Gugatan itu salah satunya adalah melegalisasi ganja untuk medis.

Dalam putusannya MK menyatakan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika konstitusional.

Dengan demikian, Narkotika Golongan I seperti ganja tetap dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan alias medis, seperti ketentuan yang saat ini berlaku.

"Amar putusan, mengadili. Satu, menyatakan permohonan pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Kedua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Hakim MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Rabu (20/7).

Gugatan penggunaan ganja untuk medis ini sebelumnya diajukan oleh enam pemohon.

Selain Santi, gugatan juga diajukan Dwi Pertiwi dan Naflah Murhayanti. Para perempuan itu adalah ibu dari penderita celebral palsy.

Perjuangan tiga ibu itu sempat menyita perhatian publik usai aksi di Car Free Day Jakarta.

Berita Rekomendasi

Mereka membentangkan poster yang bertuliskan permintaan tolong agar penggunaan ganja medis dilegalkan.

Selain tiga ibu itu, penggugat lain yakni Perkumpulan Rumah Cemara; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).

Baca juga: Kronologi Oknum TNI-Polri Penyelundup Sabu dan Ganja hingga Terancam Hukuman Mati

Sejumlah hal jadi pertimbangan MK menolak gugatan mereka.

Salah satunya, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum di dalam menilai konstitusionalista Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35 2009 menjadi satu kesatuan dan dipergunakan dalam mempertimbangkan konstitusionalitas normal Pasal 8 ayat 1.

Mahkamah telah berpendirian Penjelasan Pasal 6 tersebut adalah konstitusional, maka sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap ketentuan normal Pasal 8 ayat 1 inipun harus dinyatakan konstitusional

Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

"Sedangkan dalil-dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya," kata Hakim MK Suhartoyo membacakan poin pertimbangan.

MK kemudian menyarankan pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) jika ingin melegalisasi ganja untuk keperluan medis.

MK tidak bisa mengabulkan gugatan mengenai penggunaan ganja medis karena belum ada penelitian memadai.

Mahkamah juga menyarankan pemerintah menggelar penelitian dan menentukan kebijakan melalui revisi undang-undang.

Baca juga: Irjen Pol Kenedy: BNN Tetap Tolak Legalisasi Ganja Medis

"Penelitian yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud," kata Hakim Suhartoyo.

MK menjelaskan bahwa pengubahan norma dalam UU Narkotika merupakan ranah pembentuk undang-undang, yaitu pemerintah dan DPR.

Mahkamah menyatakan UU Narkotika mencantumkan sejumlah pasal sanksi untuk penyalahgunaan narkotika.

Dengan demikian, pemerintah dan DPR dapat mengubah ketentuan dalam undang-undang tersebut.

"Terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memuat sanksi-sanksi pidana, maka cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya," ucapnya.

Sementara itu hakim Anwar Usman mengatakan manfaat narkotika untuk kesehatan belum seimbang dengan kerugian yang akan didapatkan jika pemerintah tidak memiliki kesiapan dalam sarana dan prasarana.

"Walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan," paparnya.

"Khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia," sambung Anwar.

Ia pun berpandangan bahwa penempatan jenis narkotika Golongan 1 termasuk dalam kategori narkotika yang dapat berdampak ketergantungan sangat tinggi.

"Oleh karena itu pemanfaatan narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat keterdesakan untuk pemanfaatannya," tegasnya.

Terpisah, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Arsul Sani berharap para pemohon tak kecewa gugatan mereka ditolak MK.

Menurut Arsul, masih ada jalur lain yang bisa ditempuh, yakni melalui mekanisme legislative review di DPR.

"Ya jalan lain itu legislatif review. Ditolak itu kan judicial review dan judicial review itu tidak mengatakan bahwa pasal itu tidak boleh diubah," kata Arsul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7).

Arsul menyatakan keputusan MK yang menolak uji materi, khususnya pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Narkotika itu tidak bisa diubah, karena MK berpendapat itu merupakan open legal policy, kebijakan hukum yang terbuka.

Artinya, hal itu dikembalikan pada pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan pemerintah. "Kalau pembentuk Undang-undang sepakat memutuskan ya boleh diubah," ujarnya.

Lebih lanjut, Fraksi PPP ingin merelaksasi penggunaan ganja untuk kepentingan medis, namun dengan aturan yang ketat.

"Tetapi harus dengan aturan yang ketat dan sekali lagi kita tidak sedang bicara legalisasi ganja untuk rekreasi atau kesenangan, tidak. Untuk medis dan dengan aturan yang ketat lagi," ucap Wakil Ketua MPR RI itu.(tribun network/git/mam/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas