NFA Ajak Masyarakat Ubah Budaya Konsumsi ke Pangan Lokal
(NFA) telah memastikan Indonesia memiliki cadangan pangan yang aman dan cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Di tengah gejolak geopolitik Rusia dan Ukraina, pandemi Covid-19, dan perubahan iklim yang berdampak pada krisis pangan dunia, Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) telah memastikan Indonesia memiliki cadangan pangan yang aman dan cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat.
Namun demikian, upaya menjaga stock pangan nasional untuk jangka panjang perlu dilakukan dengan pembenahan sektor pertanian dari hulu hingga hilir serta perubahan budaya konsumsi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Kepala NFA Arief Prasetyo Adi, Jumat (29/7/2022) di Jakarta.
Ia mengatakan, kita harus mulai membudayakan “kenyang tidak harus nasi”.
Banyak ragam pangan lokal lainnya yang dapat menjadi sumber karbohidrat dan yang terpenting sesuai dengan kearifan lokal tiap daerah.
“Beras memang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan ada yang bilang kalau belum konsumsi nasi, rasanya belum makan. Tapi sebenarnya, dengan keanekaragaman sumber pangan yang kita miliki terdapat banyak pilihan sumber karbohidrat selain beras yang tak kalah bergizi, seperti ubi jalar, ubi kayu atau singkong, talas atau keladi, jagung, sagu, sorgum, porang, dan masih banyak lagi,” ungkapnya.
Baca juga: Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko Dukung Kementan Kembangkan Pangan Lokal
Arief mengatakan, untuk mendorong semangat penganekaragaman konsumsi pangan lokal yang beragam tersebut, NFA mencanangkan gerakan B2SA atau Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman.
“Gerakan B2SA ini berangkat dari keberagaman. Seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat banyak jenis pangan sesuai potensi daerahnya masing-masing yang bergizi dan juga aman,” ujarnya.
Lebih lanjut, Arief mengatakan, NFA secara resmi akan meluncurkan gerakan B2SA Minggu ini, 31 Juli 2022, di Gelora Bung Karno, Jakarta, bertepatan dengan hari ulang tahun ke-1 NFA.
Gerakan B2SA akan terus dipromosikan dan disuarakan melalui berbagai media sehingga masyarakat dapat semakin mengenal ragam jenis pangan lokal, mencoba, hingga memanfaatkannya sebagai pangan alternatif, serta semakin mengetahui seperti apa pola konsumsi yang seimbang serta aman.
“Kami juga akan menggerakan Dinas Urusan Pangan yang tersebar di 514 kab/kota dan 37 provinsi untuk semakin intensif mengkampanyekan gerakan ini kepada masyarakat di daerahnya. Salah satunya melalui penafaatan pekarangan rumah sebagai ladang untuk bercocok tanam komoditas pangan lokal,” ujarnya.
Arief mengatakan, hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden RI Joko Widodo pada peringatan Hari Keluarga Nasional lalu, yang mengajak seluruh keluarga di Indonesia memanfaatkan lahan pekarangan untuk bercocok tanam dan berternak guna memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Arief berharap, melalui pembudidayaan, pemanfaatan, dan peningkatan konsumsi pangan lokal yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman, maka ketahanan pangan masyarakat akan semakin terjaga karena tidak harus bergantung pada satu komoditas tertentu. B2SA mendorong Masyarakat Indonesia semakin sehat, aktif, dan produktif demi tercapainya sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
“Memfokuskan kebutuhan pangan nasional hanya pada komoditas tertentu, seperti beras misalnya jelas memiliki risiko, selain karena tidak semua lahan cocok untuk ditanami padi, perubahan iklim juga merupakan ancaman tersendiri bagi produktivitas sawah,” ujarnya.
Dari sisi kesehatan, penganekaragaman konsumsi pangan juga bermanfaat untuk pemenuhan gizi yang variatif dan seimbang. “Diversifikasi pangan menjadi salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan gizi yang beragam. Contohnya umbi maupun sagu yang terkenal rendah gluten,” kata Arief.
Pangan lokal juga bisa menjadi bahan subsitusi yang baik untuk komoditas impor. “Campuran tepung pangan lokal bisa jadi bahan pengganti yang tepat untuk pembuatan kue, mie, maupun pangan lainnya. Jika kita bisa melakukan substitusi pangan yang berbahan baku gandum seperti terigu menjadi tepung beras dan singkong sebanyak 10 persen saja, itu telah sama dengan saving 2,4 triliun rupiah per tahun. Hal lain yang masih terus dikembangkan yaitu pangan modifikasi seperti beras analog yang terbuat dari Mocaf (modified cassava flour) atau tepung singkong yang telah difermentasi,” ujar Arief.
Arief menjelaskan, gerakan ini turut dilatarbelakangi oleh kondisi Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah- buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu.
“Dari keragaman tersebut, masyarakat Indonesia juga memiliki kearifan budaya pangan lokal di daerahnya masing-masing seperti budaya Manggadong di Sumatera Utara, beras Aruk di Kepulauan Bangka Belitung, nasi Siger di Lampung, Rasi di Jawa Barat, Nasi Jagung di Jawa, Jagung Bose di NTT, Binte Biluhute di Gorontalo, bubur Tinutuan Sulawesi Utara, Kapurung di Sulawesi Selatan, Kasuami, Sinonggi dan Kabuto di Sulawesi Tenggara, Enbal di Maluku, hingga Papeda di Papua,” paparnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.