Vaksinasi Booster Covid-19 untuk Remaja Sebaiknya Diutamakan Kelompok Rawan
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan vaksinasi booster Covid-19 untuk remaja sebaiknya diutamakan bagi kelompok rawan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengizinkan Pfizer dengan teknologi mRNA digunakan sebagai vaksin booster Covid-19 untuk anak-anak remaja berusia 16-18 tahun.
Keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan ilmiah sejumlah aspek dan rekomendasi dari Komite Nasional Penilaian Obat dan Vaksin Covid-19, Indonesian Technical Advisory Group of Immunization (ITAGI), serta asosiasi klinisi.
Terkait hal tersebut Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyebut keputusan tersebut sudah benar.
"Pilihannya sudah benar, dan ini penting karena anak usia 16 tahun, bahkan 12 tahun sudah bisa dapat booster dan perlu untuk meningkatkan level proteksi. Karena tidak berbeda dengan dewasa, proteksi remaja yang timbul dari vaksin juga menurun seiring waktu," ujar Dicky Budiman dalam pernyataannya, Jumat (5/8/2022).
Baca juga: Booster Kedua Covid-19: Pemerintah Harus Jamin Kehalalan Vaksin
Hanya saja lanjut Dicky mereka para anak remaja yang dapat vaksinasi booster adalah yang memiliki kerentanan.
Seperti misalnya, mengalami obesitas, difabel dan autis.
"Ini keputusan yang sangat tepat dan hasil yang didapat BPOM dalam mengujinya (dosis vaksin) lebih klinis. Memang tidak jauh berbeda dengan negara lain yang sudah lebih dulu memberikan vaksin booster."
"Seandainya dosis terbatas, utamakan kelompok rawan yang punya komorbid atau kondisi tubuh lainnya. Mungkin difabel, autis, termasuk kondisi anak obesitas," kata Dicky.
Namun, Dicky menilai, booster sebenarnya belum perlu menjadi syarat remaja dalam beraktivitas, termasuk sekolah. Sebab, imunitas remaja jauh lebih kuat.
Justru yang perlu jadi perhatian adalah booster untuk guru dan staf di sekolah yang mungkin di antara mereka lansia atau memiliki komorbid.
"Yang perlu disyaratkan adalah penerapan protokol kesehatan dan sirkulasi udara di sekolah," katanya.
Untuk meningkatkan capaian booster, Dicky berharap pemerintah bisa membangun strategi komunikasi risiko yang transparan.
Kejujuran pemerintah bukan untuk menimbulkan ketakutan di masyarakat, tapi membangun kewaspadaan.
"Kalau tidak jujur, orang menganggap pandemi sudah selesai," ujarnya.(Willy Widianto)