Mungkinkah Sambo Lepas dari Tuntutan Hukum?
Dalam perkara Sambo, sampai kini kita belum tahu tepat bagaimana proses Sambo melakukan penembakan kepada Yoshua.
Editor: cecep burdansyah
Oleh Wina Armada Sukardi
Advokat
Waduh, pertanyaaan macam apa lagi ini? Bukankah Ferdy Sambo sudah tandas mengakui dialah dalang yang membunuh Yoshua, ajudan dan sekaligus anak buahnya sendiri.
Mungkin, begitu pertanyaan spontan yang umumnya keluar dari sebagian kita. Pertanyaan yang normal dan masuk akal.
Hukum pidana mempunyai ketentuan-ketentuan dan asas-asas yang khas, yang mungkin tidak diketahui atau dipahami oleh khalayak.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pengakuan bukanlah satu-satunya alat bukti. Orang boleh mengaku, atau tidak mengaku, melakukan tindak pidana, tidak serta merta mereka dapat dinyatakan bersalah atau tidak bersalah. Pengakuan itu harus didukung oleh bukti lainnya.
Ini berbeda dengan zaman sebelum berlakunya KUHAP. Dulu, pengakuan menjadi bukti utama orang melakukan tindak pidana. Oleh sebab itu, dulu polisi selalu mengejar pengakuan, dengan cara apapun juga, termasuk kalau perlu dengan penyiksaan. Kini berbeda. Pengakuan saja tidak cukup. Harus ada bukti pendukung yang kuat lainnya.
Sambo boleh mengaku atau tidak mengaku. Itu belum membuktikan dia bersalah atau tidak bersalah. Harus ada bukti-bukti pendukung lain yang kuat. Misal hasil uji balistik, otopsi atau olah Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Aturan Tidak Dapat Dihukum
Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) ada banyak pasal yang mengatur, walaupun seseorang telah jelas melanggar pasal-pasal hukum pidana, tetapi orang tersebut boleh jadi tidak dapat dipertanggungjawabkan alias tidak dapat dihukum. Contohnya, pasal 50 dan pasal 51 KUHP yang mengatur pejabat yang melaksanalan perintah UU atau melaksanakan perintah jabatan, tidak dapat dihukum.
Contoh lain, orang gila yang melakukan tindak pidana dapat saja dia tidak dihukum.
Ini diatur dala pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.”