Mungkinkah Sambo Lepas dari Tuntutan Hukum?
Dalam perkara Sambo, sampai kini kita belum tahu tepat bagaimana proses Sambo melakukan penembakan kepada Yoshua.
Editor: cecep burdansyah
Beberapa tahun silam, seorang dokter membunuh pembantunya. Semua unsur pidana pembunuhan terpenuhi. Hanya saja pembelanya dapat meyakinkan majelis hakim yang mengadili, si dokter mengalami kelainan atau gangguan jiwa, alias “gila,” dan karena itu minta dokter yang bersangkutan tidak dihukum.
Permintaan tersebut dikabulkan majelis hakim dan dokter yang bersangkutan dikembalikan kepada keluarganya. Belakangan dia terbukti mengulang kembali lagi perbuatannya membunuh pembantu lain lagi.
Nah, bagaimana kalau para advokat atau pembela Sambo lihai, dan tiba-tiba saja mereka dapat surat keterangan dan juga mampu menghadirkan ahli psikologi yang menjelaskan Sambo mengalami gangguan jiwa berat. Misalnya, ini cuma misalnya saja, Sambo dinilai menderita psikopat. Kemudian para pembela atau advokat itu minta Sambo tidak dihukum dan dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Tiga Jenis Vonis
Secara ringkas dan sederhana, dalam sistem hukum pidana kita ada tiga jenis vonis yang dapat dijatuhkan hakim.
Pertama, menjatuhkan hukuman. Lama dan jenis hukumya bervariasi tergantung tingkat kesalahan terpidana. Hukuman dijatuhkan jika unsur-unsur yang dituduhkan terbukti dan pelakunya dapat dipertanggungjawabakan.
Kedua, vonis “dilepaskan dari segala tuntutan hukum.”Dalam hal ini semua unsur pidana yang dituduhkan kepada seorang terdakwa, semuanya juga terpenuhi. Walaupun demikian, ada faktor-faktor yang membuat pelakunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misal dia mengalami gangguan kejiwaan berat seperti gila. Dalam hal ini secara teknis hukum pidana, orang yang melakukan kejahatan tersebut tidak dihukum tetapi “dilepaskan dari segala tuntutan hukum.” Dalam bahasa awam, mereka juga tidak dihukum.
Adapun yang ketiga, vonis bebas. Artinya perbuatan yang dituduh kepadanya sama sekali tidak terbukti. Misal ada yang dituduh mencuri, padahal dia sama sekali tidak terbukti melakukan pencurian itu. Dia dibebaskan.
Jika kelak di pengadilan ternyata Sambo dinyatakan mengalami gangguan jiwa atau psikopat, kemungkinan besar Sambo tidak bakal divonis dengan sanksi hukuman, walaupun juga tidak akan dibebaskan, karena semua unsur pembunuhan sudah terbukti. Dalam hal ini mungkin saja Sambo “dilepaskan dari segala tuntutan hukum.” Nah, loh.
Tindakan Jiwa yang Tergoncang Hebat
Itu satu kemungkinan. Ada kemungkinan lain. Dalam hukum pidana kita dikenal istilah “bela paksa” atau noodweer. Salah satu dari jenis noodweer disebut -noodweer exes_ atau bela diri paksa yang melampaui batas.
Penjelasannya begini. Ada kalanya karena suatu goncangan jiwa yang sangat luar biasa hebat, tanpa disadari seseorang melakukan suatu tindakan bela paksa yang melampui batas. Sejati tindakan itu dilarang oleh UU, tetapi karena dilakukan dalam keadaan jiwa yang sangat terguncang luar biasa, maka hal seperti itu menjadi dapat tidak dihukum. Inilah yang dinamakan noodweer exes.
Dalam KUHP noodweer exes diatur dalam pasal 49 ayat (2) yang berbunyi, “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung, disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat, karena serangan atau ancaman itu, tidak boleh dihukum.” Unsur terpenting dari pasal noodweer exes harus adanya goncangan jiwa yang hebat sehingga mempengaruhi tingkah atau tindakan yang orang yang melakukannya.
Contoh ekstrem dari noodweer exes ini misalnya ada seorang polisi muda yang baru saja menikah.Tak lama kemudian dia ditugaskan ke daerah yang terpisah dari istrinya. Ketika dia pulang tugas dari daerah, dia melihat istrinya sedang atau akan diperkosa. Dia tergoncang hebat. Maklumlah pengantin baru dan sudah berpisah lama.
Tanpa pikir panjang lagi, si polisi mencabut pistol yang dibawanya dan langsung menembak penjahat yang (akan) memperkosa istrinya. Sampai mati. Tindakan polisi muda yang menembak mati pelaku pemerkosaan istrinya sebenarnya melampau batas dan dilarang oleh UU. Tetapi lantaran dinilai dirinya tergoncang luar biasa hebat, dia tidak dapat dihukum, sesua Pasal 49 ayat (2) KUHP.