RDP Kasus Brigadir J di DPR Memanas: Usulan Kapolri Dinonaktifkan hingga Debat Mahfud MD dan Desmond
RDP antara Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK memanas, mulai dari ada usulan Kapolri dinonaktifkan hingga debat antara Mahfud MD dan Desmond Mahesa.
Penulis: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas kasus pembunuhan berencana Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo tengah berlangsung di DPR RI, Senin (22/8/2022).
Rapat antara Komisi III DPR RI bersama Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK itu berlangsung panas.
Mulai dari ada anggota komisi III DPR RI yang meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dinonaktifkan.
Hingga adanya debat antara Ketua Kompolnas yang juga Menko Polhukam Mahfud MD dengan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa.
Berikut momen-momen dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR membahas kasus pembunuhan berencana Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo yang dirangkum Tribunnews.
1. Benny K Harman Usulkan Kapolri Dinonaktifkan soal Kasus Brigadir J, Diambil Alih Kemenko Polhukam
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman mengusulkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk dinonaktifkan dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Benny K Harman menambahkan dirinya meminta agar penanganan kasus Brigadir J ini diambil alih oleh Kemenko Polhukam yang dipimpin oleh Mahfud MD.
"Mestinya Kapolri diberhentikan sementara diambil alih oleh Menko Polhukam untuk menangani kasus ini supaya objektif dan transparan," katanya dalam rapat bersama Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK yang ditayangkan TV Parlemen, Senin (22/8/2022).
Benny K Harman beralasan dirinya meminta pengambilalihan tersebut karena masyarakat telah dibohongi oleh Polri dalam pengusutan kasus pembunuhan Brigadir J.
Dirinya mencontohkan dengan keterangan pers yang diungkapkan saat pertama kali adalah terjadi baku tembak antara Brigadir J dengan Bharada Richard Eliezer alias Bharada E.
Hanya saja setelah publik menyoroti lebih jauh dan keluarga Brigadir J menilai ada kejanggalan, Polri membentuk Tim Khusus dan menemukan perbedaan di mana yang terjadi adalah pembunuhan berencana.
"Kita enggak percaya polisi. Polisi kasih keterangan publik. Publik ditipu juga kita kan. Kita tanggapi ternyata salah jadi publik dibohongi oleh polisi," jelas Benny.
Seperti diketahui, keterangan dari Karo Penmas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengungkapkan bahwa Brigadir J menembak Bharada E.
"Saat itu yang bersangkutan (Brigadir J) mengacungkan senjata kemudian melakukan penembakan dan Barada E tentu menghindar dan membalas tembakan terhadap Brigadir J," jelasnya.
"Akibat penembakan yang dilakukan Barada E itu mengakibatkan Brigadir J meninggal dunia," imbuhnya dikutip dari Tribunnews.
Seiring berjalannya waktu, Kapolri mengungkapkan bahwa fakta tembak menembak tidak terjadi.
Yang terjadi adalah Bharada E menembak Brigadir J atas perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Selain itu, Kapolri juga mengungkapkan Ferdy Sambo membuat skenario seolah terjadi tembak-menembak dengan menembakan senjata dari Brigadir J.
Hal ini disampaikannya pada konferensi pers yang digelar di Mabes Polri pada 9 Agustus 2022 lalu.
"Untuk membuat seolah-olah telah terjadi tembak-menembak saudara FS melakukan penembakan dengan senjata milik saudara J ke dinding berkali-kali, untuk membuat kesan seolah telah terjadi tembak-menembak," katanya.
Baca juga: Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Ternyata Juga Diperiksa di Kasus Kematian Brigadir J
Dalam kasus ini, Polri telah menetapkan lima tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J yaitu Ferdy Sambo, Bharada E, Bripka RR, Kuwat Maruf, dan Putri Candrawathi.
Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuwat Maruf, dan Putri Candrawathi disangkakan dengan pasal 340 KUHP subsider pasal 338 KUHP juncto pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara maksimal 20 tahun.
Sementara Bharada E disangkakan dengan pasal 338 KUHP juncto 55 dan 56 tentang Tindak Pidana Pembunuhan.
2. Mahfud MD dan Desmond Debat soal Kompolnas saat Rapat di Komisi III DPR Bahas Kasus Ferdy Sambo
Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kompolnas, Komnas HAM, dan LPSK untuk membahas kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
Dalam rapat tersebut, terjadi perdebatan antara Ketua Kompolnas Mahfud MD dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa.
Perdebatan bermula ketika Desmond menginterupsi pernyataan Mahfud soal bagaimana berkoordinasi dengan Ketua Komnas HAM.
Desmond mempertanyakan status Mahfud sebagai Ketua Kompolnas.
"Pak Mahfud, tugas Kompolnas itu apa?" tanya Desmond kepada Mahfud di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (22/8/2022).
Mahfud MD kemudian menjawab bahwa dirinya adalah Menkopolhukam eks fisio Ketua Kompolnas.
Dimana tugas Kompolnas itu ikut mengawasi dan memberi rekomendasi.
"Tapi saya Menkopolhukam yang harus menerjemahkan setiap yang dikatakan presiden kepada publik," jawab Mahfud
"Yang saya tanya bukan Menkonya Pak tapi tugas Kompolnas," balas Desmond yang juga politikus Gerindra ini.
"Kompolnas itu pengawas eksternal Polri, jadi dia mitra. Saya waktu pertemuan pertama, saya bilang ke Pak Kapolri saya tidak akan menjadi seperti dulu, seperti musuh. Kita kerjasama saja. Kalau punya masukan, kita sampaikan, apakah ada keluhan apa itu. Sejak awal Kapolri dilantik saya bilang begitu. Oleh sebab itu, kita menempatkan diri sebagai mitra," ujar Mahfud.
Desmond lalu mempertanyakan jika posisi sebagai mitra, apa bedanya dengan DPR.
Menurut Desmond, itu hal yang sama.
"Sama saja, dengan LSM, dengan media kan sama saja, boleh bicara apa saja," balas Mahfud.
"Tidak mampu melakukan atau tidak punya perangkat untuk melakukan penyidikan. Dalam hal ini, maka bapak berdiskusi dengan Komnas HAM, saya paham. Komnas HAM harapannya bisa menginformasikan sesuatu kepada Kompolnas. Persoalannya adalah pada saat anggota Kompolnas cuma menjadi PR (public relation) atas keterangan Polres Jaksel ternyata itu salah, ini kan luar biasa. Nah inilah dalam catatan, sebenarnya Kompolnas ini perlu enggak?" tanya Desmond cepat.
Mahfud lantas membalas bahwa yang membuat Kompolnas adalah DPR dan dia menyerahkannya kepada DPR.
"Kalau kapasitas saya cuma jadi juru bicara ya menurut saya tidak perlu ada Kompolnas," balas Desmond.
"Silakan, Pak. Nanti disimpulkan saja habis rapat ini, terserah saja," tandas Mahfud.
3. Debat Sengit Mahfud MD-Desmond Berlanjut ke Soal Kasus KM 50
Perdebatan sengit terjadi antara Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Mahfud MD dan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Mahesa dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Perdebatan yang awalnya membicarakan fungsi dan eksistensi Kompolnas, kemudian melebar ke kasus pidana yang lain, yakni soal KM 50, yang diketahui 6 pengawal Habib Rizieq Shihab meninggal dunia ditembak polisi
Desmond menanyakan apakah Kompolnas melakukan hal yang sama di kasus KM 50.
Pasalnya, Mahfud terbilang getol bicara dalam kasus Sambo.
Sebagai informasi, saat kasus KM 50, Ferdy Sambo menjabat Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
"Kasus KM 50 bagaimana? Bapak pernah bikin catatan itu kepada kepolisian juga tidak?" tanya Desmond kepada Mahfud, Senin (22/8/2022).
Mahfud menjawab bahwa dirinya pernah bersurat langsung kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prasetyo soal kasus itu
Politisi Partai Gerindra itu pun menanyakan jawaban Kapolri terkait surat yang dikirim Mahfud sebagai Ketua Kompolnas.
"Itu urusan Kapolri. Saya pernah sebagai Menkopolhukam, Ketua Kompolnas, ini hasil penyidikan tindak lanjuti. Resmi pak tertulis pak," kata Mahfud.
"Ada tindak lanjut enggak?" tanya Desmond.
"Soal implementasi itu di Polri. Jangan salahkan saya dong," jawab Mahfud.
Diketahui, Bareskrim Polri menetapkan enam anggota laskar FPI yang tewas dalam insiden di Tol Jakarta-Cikampek sebagai tersangka kasus Km 50. Keenam anggota laskar FPI itu diduga melakukan kekerasan.
Meski begitu, status tersangka keenam orang itu gugur setelah polisi menghentikan kasus dugaan penyerangan tersebut.
Eks Juru Bicara Habib Rizieq Shihab itu meminta Polri secara terang benderang membuka proses penyidikan agar benar-benar terwujudkan kepastian hukum dalam kasus tersebut.
"Karena banyak keganjilan informasi yang berkembang dipublik, termasuk pemberitaan yang ada melalui media sosial terkait kronologis atau asal muasal (causalitas) peristiwa yang menimbulkan kematian," jelasnya.
Di sisi lain, Damai juga mengingatkan jangan sampai pelaku penembakan bisa bebas dengan dalih melindungi diri saat insiden itu terjadi.
"Jangan sampai hukum menjudge korban yang notabene telah meninggal, justru menjadi pelaku tersangka delik. Lalu sebaliknya pelaku delik menjadi terbebaskan oleh hukum yang keliru penerapan, hanya oleh sebab dalil hukum yang amat sederhana, atau anilisa yang terburu-buru, tanpa ditopang alat bukti kuat," jelasnya.
Bahas Kasus Tewasnya Brigadir J, Komisi III DPR Gelar Rapat Bersama Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK
Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas kasus pembunuhan berencana Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
Adapun rapat itu dilakukan bersama Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK.
Hadir dalam RDP tersebut Ketua Kompolnas yang juga Menkopolhukam Mahfud MD, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.
Mahfud MD mengatakan bahwa pihaknya mempunyai dua sikap terhadap kasus ini yang berubah dari skenario pertama dan kedua.
"Jadi ketika peristiwa ini diumumkan tanggal 11 Juli, Kompolnas langsung bergerak. Saya sedang berada di Mekah langsing ke TKP, dan Pak Benny Mamoto mendapat penjelasan bahwa ini terjadi tembak menembak, dan ada korban," kata Mahfud dalam Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Senin (22/8/2022).
Baca juga: Setelah Putri Candrawathi, Eks Penasihat Ahli Kapolri dan Ajudan Ferdy Sambo Didesak Jadi Tersangka
Mahfud kemudian berpendapat melalui wawancara di sebuah media bahwa penjelasan Polri soal kasus tersebut tidak masuk akal.
"Antara penjelasan dari fakta ke fakta itu kaitan sebab akibatnya tida jelas. Ini kalau menurut hukum pidana harus ada (sebab-akibat). Ini sangat meragukan," kata dia.
"Tapi dari TKP, Pak Benny Mamoto dan kawan-kawan tetap berpegang kepada skenario itu. Lalu saya panggil semua anggota Kompolnas, apa yang sebenarnya terjadi," ujar dia.
Mahfud melihat isu-isu di luar berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Polri. Publik, dikatakan Mahfud, menilai Kompolnas dan Komnas HAM tidak sensitif dan sudah disetir oleh skenario tersebut.
"Katanya sudah ada yang dipanggil, lalu Bu Poengky Indarto bilang 'saya yang dipanggil eh Pak Ferdy Sambo'," kata dia.
Baca juga: Hari Ini Dokter Forensik Umumkan Hasil Autopsi Kedua Brigadir J, Polri Siapkan Rekonstruksi
Mahfud mendapatkan informasi dari Poengky bahwa Ferdy Sambo menangis kepadanya, bercerita bahwa Brigadir J melecehkan keluarganya, dan bahkan jika bisa dialah menembak Brigadir J sendiri.
Sampai saat ini, rapat masih berlangsung dengan pembahasan soal kronologis dari Kompolnas dengan sedikit interupsi beberapa anggota dewan (tribun network/thf/Tribunnews.com)