VIDEO Alasan dan Waktunya Belum Tepat, Fraksi PKS Minta Jokowi Tak Naikkan Harga BBM Bersubsidi
"Karena itu PKS minta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sekarang."
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dikabarkan akan mengumumkan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS Mulyanto menyebut pemerintah super tega bila menaikkan harga BBM bersubsidi dalam kondisi seperti ini.
Dalam masa pemulihan ekonomi nasional seperti sekarang, dia menjelaskan pemerintah harusnya memperbanyak insentif bagi masyarakat kecil.
Bukan malah sebaliknya, membebani dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Hal tersebut justru akan menyebabkan terjadinya inflasi.
"Karena itu PKS minta kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak menaikkan harga BBM bersubsidi sekarang."
"Alasan dan waktunya belum tepat."
"Ini hanya akan membuat masyarakat makin menderita setelah dua tahun lebih terdampak Covid-19," kata Wakil Ketua Fraksi PKS ini, dalam keterangan yang diterima Selasa (23/8/2022).
Mulyanto minta Presiden Jokowi memperhatikan kondisi riil masyarakat.
Menurutnya, sebagai presiden yang dicitrakan peduli pada kepentingan rakyat maka Jokowi harus berani membuat keputusan yang tegas tentang harga BBM ini.
Apalagi APBN tahun 2022 disebut surplus selama beberapa bulan belakangan.
"Presiden jangan cuma mendengar saran kebanyakan menteri yang justru menginginkan pemerintah menaikkan harga BBM."
"Dengarkan juga aspirasi masyarakat yang berkembang saat ini," ujarnya.
"Sebab kalau Pemerintah tetap nekat itu sama saja pemerintah tega dengan rakyatnya," lanjut Mulyanto.
Seperti diberitakan sebelumnya saat ini inflasi tahunan sebesar 3.94 persen, tertinggi sejak Oktober 2015.
Jika BBM bersubsidi dinaikkan, maka diperkirakan inflasi akan melejit ke angka 7 atau 8 persen.
Karena kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong secara berantai kenaikan harga barang dan jasa lainnya secara luas.
"Ini tentu akan mencekik kehidupan rakyat dan menambah angka kemiskinan," jelasnya.
Rakyat Makin Menderita
Ketua Umum PB Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) M. Abdullah Syukri meminta pemerintah kaji ulang rencana menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah situasi perekonomian masyarakat yang tidak sepenuhnya siap dengan kebijakan tersebut.
"Perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan permasalahan harga bahan pokok yang belum stabil. Jangan sampai rakyat Indonesia semakin menderita dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi," kata Abe sapaan Abdullah Syukri dalam keterangan yang diterima Tribun, Minggu (21/8/2022).
Ia menyebut, kenaikan harga BBM bersubsidi akan semakin memiskinkan nelayan, petani, buruh maupun masyarakat marjinal.
"Alih-alih hanya mengambil kebijakan di sisi hilir yang langsung berdampak ke masyarakat, lebih baik baik pemerintah fokus pembenahan di hulu, seperti memberantas sindikat mafia bahan bakar dan pengawasan pendistribusian BBM yang tepat sasaran," ucap Abe.
Abe pun menyampaikan, pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam mengatasi persoalan anggaran dengan tidak menghilangkan dan merampas hak-hak rakyat.
"Kami seluruh kader PMII se-Indonesia, senantiasa siap bergerak mengawal kepentingan rakyat dan menolak dengan tegas rencana kenaikan harga BBM bersubsidi," tuturnya.
Ketatkan Pengawasan Bukan Naikkan Harga
Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah melakukan pengetatan pengawasan dan penghematan dibanding menaikkan harga Pertalite.
Sebab, kata Bhima, kenaikan harga Pertalite yang diisukan menjadi Rp10.000 per liter akan mendongkrak tingkat inflasi hingga mencapai 6-6,5 persen year on year (yoy).
"Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015," ujar Bhima.
Ia menyebut, kenaikkan harga Pertalite memang akan meringankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, di sisi lain pemerintah wajib meningkatkan dana belanja sosial sebagai kompensasi kepada orang miskin dan rentan miskin atas naiknya harga BBM subsidi.
"Jadi ini ibarat hemat di kantong kanan, tapi keluar dana lebih besar di kantong kiri," kata Bhima.
Bhima juga menilai, pemerintah sebaiknya memperketat pengawasan Solar subsidi untuk kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar.
Selama ini tingkat kebocoran Solar masih terjadi, dan lebih mudah mengawasi distribusi solar dibandingkan pengawasan BBM untuk kendaraan pribadi karena jumlah angkutan jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi.
"Penghematan dari pengawasan distribusi Solar subsidi cukup membantu penghematan anggaran," tutur Bhima.
Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi dampaknya akan dirasakan langsung ke daya beli masyarakat yang menurun, meningkatkan jumlah orang miskin baru, sebab masyarakat saat ini sudah menghadapi kenaikan harga pangan, dengan inflasi mendekati 5 persen.
Di sisi yang lain, masyarakat masih belum pulih akibat dampak pandemi Covid-19.
"Terbukti ada 11 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan," terang Bhima.
Jika ditambah kenaikan harga BBM subsidi dikhawatirkan tekanan ekonomi untuk 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin berat. Belum lagi ada 64 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergantung dari BBM subsidi.
"Pemerintah juga harus memikirkan efek ke UMKM, karena subsidi ini bukan hanya kendaraan pribadi tapi juga dipakai untuk kendaraan operasional usaha kecil dan mikro," tutur Bhima.
APBN Surplus Tapi Harga BBM Naik
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mempertanyakan pernyataan Pemerintah yang mengaku Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2022 mengalami surplus tapi pada saat yang sama malah mau menaikan harga BBM.
Mulyanto berujar, jika APBN benar-benar surplus harusnya Pemerintah tidak akan menaikan harga BBM. Apalagi di saat kondisi ekonomi masyarakat belum stabil karena pandemi Covid-19.
"Pemerintah jangan plin-plan. Sementara Presiden bilang ekonomi kita bagus dan APBN surplus, para menteri justru berwacana untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Sebaiknya wacana seperti itu dihentikan. Jangan bikin malu Presiden," ujar Mulyanto.
Mulyanto mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru menyampaikan prestasi kabinetnya, dimana ekonomi tumbuh positif sebesar 5.44 persen. Pada Semester Satu tahun 2022, APBN surplus sebesar Rp 106 triliun.
Sementara itu neraca perdagangan surplus selama 27 bulan beturut-turut tanpa jeda. Pada Semester satu tahun 2022 saja surplusnya mencapai angka sebesar Rp 364 triliun.
"Ini tentu pengaruh windfall profit (durian runtuh) dari naiknya harga-harga komoditas seperti batubara, tembaga, emas, CPO, dan lain-lain termasuk juga migas. Pertamina sendiri, yang menjadi operator migas dominan di Indonesia pasca akuisisi Chevron di Blok Rokan, mengalami keuntungan besar di sisi hulu migas,” imbu Mulyanto.
Karenanya, menurut Mulyanto, berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya dengan memanfaatkan booming harga-harga komoditas energi dan pangan tersebut menjadi sangat strategis.
Di sisi lain penghematan APBN pada proyek-proyek yang tidak penting dan mendesak, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, perlu segera dilakukan.
“Kalau inisisatif ini yang dikembangkan, tentunya surplus keuangan negara tersebut dapat dioptimalkan untuk mengokohkan subsidi BBM, agar kejutan ekonomi dari luar dapat diredam melalui bantalan APBN tersebut,” katanya lagi.
Mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi di tengah tingginya tingkat inflasi hari ini, kata Mulyanto, sama saja ingin mendorong masyarakat menjadi semakin susah dan menderita.
“Pilihan yang tidak tepat di tahun politik dan di akhir masa kabinet Presiden Jokowi,” tutup Mulyanto.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.