Rencana Pemerintah Merevisi PP 109 Tahun 2012 Mendapat Penolakan Sejumlah Kalangan, Ini Alasannya
Jika pemerintah melakukan revisi maka sebaiknya melibatkan sejumlah pihak terkait revisi PP 109 Tahun 2012.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, kembali mendapat penolakan dari berbagai kelompok masyarakat.
Pengamat Industri Rokok dan Rokok Elektrik, Acep Jamaludin, mengatakan jika pemerintah ingin merevisi PP tersebut harusnya melakukan serangkaian kajian termasuk kajian akademis dan melibatkan sektor publik termasuk kalangan pelaku industri rokok itu sendiri.
Nyatanya, menurut Acep, hingga saat ini belum pernah ada kajian akademis dan juga belum melibatkan berbagi kelompok yang ada di masyarakat termasuk kelompok masyarakat pelaku industri hasil tembakau.
“Proses revisi itu cukup panjang, tentunya ketika pemerintah akan melakukan proses revisi maka pemerintah akan mengkonsultasikan dengan berbagai pihak, untuk kemudian di drafting. Drafting itu sendiri harus ada naskah akademiknya terkait drafting revisi PP 109/12. Setelah itu lanjut dikonsultasikan untuk kemudian diambil keputusan," ujar Acep Jamaludin, Senin (29/8/2022).
Baca juga: Kemenperin Nilai Wacana Revisi PP 109/2012 Belum Perlu Dilakukan
Menurut dia arena ini adalah PP maka posisinya harus ada di Presiden untuk mendapatkan persetujuanya.
"Nah apakah Presiden sudah setuju atau belum? “ ujar Acep yang juga pengurus Dewan Pimpinan WIlatah (DPW) Partai Keadilan Bangsa ( PKB) Jawa Barat ini.
Hal yang sama disampaikan Ketua Umum Koalisi Masyarakat Tembakau Indonesia, Bambang Elf.
Menurut Bambang, Revisi PP 109/2012 tidak tepat dilakukan saat ini selain karena belum melakukan kajian akademis dan belum melibatkan sektor publik, juga PP tersebut dikhawatirkan akan ikut menaikkan cukai rokok kembali. Akibatnya akan menaikkan jumlah produk rokok illegal.
“Merevisi PP109/2012 hanya akan mematikan industri rokok yang legal sekaligus memakmurkan produk rokok illegal. Mematikan industri rokok akan berdampak kepada pengurangan penyerapan tenaga kerja kita dan penerimaan pemerintah, “ tegas Bambang Elf
Jamaludin menambahkan alasan lain tentang ketidak setujuannya, jika hasil PP 109/2012 tersebut direvisi.
PP hasil revisi tersebut akan memasukkan dan menyamakan produk rokok elektronik atau sejenis vape maupun rokok liqiuid, dengan rokok konvensional yang selama ini sudah dikenal masyarakat dunia.
Padahal industri rokok vape merupakan salah satu bentuk industri kreatif.
Sementara usianya juga belum lama, sebab baru dikreasikan sekitar tahun 2014. Namun karena kreatif, produk ini mulai digemari berbagai kelompok masyarakat.
“Pengaruh dari revisi PP No. 109/2012 ini kepada industri vape adalah industri vape akan diperlakukan sama dengan industri rokok konvensional. Padahal sebenarnya itu adalah 2 hal yang berbeda. Industri vape bisa dikategorikan industri kreatif yang justru seharusnya dilindungi oleh Pemerintah karena pelaku kegiatan ekonomi Vape didominasi oleh anak muda skala UMKM,” tegas Acep Jamaludin.
Lebih lanjut, Acep Jamaludin menjelaskan vape atau rokok elektronik tidak bisa disatukelaskan atau dikelompokkan dengan rokok.
Industri rokok elekrik ini seperti vape masuk dalam kelompok industri ekonomi kreatif bukan holding atau industri besar.
Karena itu, menurut dia, pemerintah punya kewajiban untuk melakukan proses inkubasi dan akselerasi terhadp para pelaku usaha industri kreatif vape.
Selain itu, rokok konvensional lebih banyak diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar.
Sementara rokok elektronik lebih banyak dihasilkan oleh perusahaan sekala UMKM atau usaha mikro kecil dan menengah yang banyak dipimpin oleh anak anak muda yang kreatif.
“Kalau vape dikelompokan dengan rokok karena mengandung zat berbahaya maka harus melalui mekanisme kajian secara akademis atau melalui penelitian secara khusus dan itu harus dibuka di publik,” tegas Jamaludin.
Ketua Asosiasi Produsen E -Liquid Indonesia (APEI), Bebey Daniel juga sepakat menolak adanya revisi PP 109/2012.
Hal ini karena dalam rencana revisi peraturan pemerintah (RPP) tersebut, pemerintah berencana memasukan dan menyamakan rokok elektrik dengan rokok konvensional yang sudah ada sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Jika RPP tersebut memasukan rokok elektrik maka akan mematikan industri kreatif yang menghasilkan produk rokok elektrik atau liquid.
“RPP tersebut tidak relevan di terapkan di rokok elektrik, dan berpotensi mematikan industri kreatif rokok elektrik lokal secara tidak langsung. Sebagai contoh pencantuman kandungan kimia berbahaya dan tar. Secara penelitian rokok elektrik tidak mengandung hal tersebut,” tegas Bebey Daniel.
Menurut Bebey Daniel, dalam RPP 109/2012 pemerintah tidak akan menghilangkan rokok elektrik tetapi justru akan mempersulit penjualan produk rokok elektrik lokal karya anak bangsa.
Sementara pihaknya sebagai produsen rokok elektronik atau elektrik justru diminta untuk menaikkan pendapatan dari sektor cukai.
Padahal pihaknya telah memberikan solusi kepada pemerintah menjawab permasalahan bea cukai bagaimana caranya menghasilkan produk yang rendah resiko tetapi dapat meningkatkan pendapatan negara.
“Rokok elektrik karya anak bangsa inilah solusi yang kami berikan atas permasalahan yang ada saat ini. Memberikan alternatif merokok yang lebih aman bagi masyarakat juga memberikan pemasukan bagi negara dan lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia,” papar Bebey Daniel.