Kritik Kenaikan Harga BBM, Partai PRIMA Singgung Nasib 70 Persen Warga Miskin hingga 64 Juta UMKM
Partai Prima menilai kenaikan harga BBM akan memukul 70 persen rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin dan rentan miskin.
Penulis: Reza Deni
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) mengkritik pemerintah yang memutuskan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Ketua Umum PRIMA, Agus Jabo Priyono menilai kenaikan harga BBM akan memukul 70 persen rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin dan rentan miskin.
Selain itu, 64 juta pelaku UMKM juga akan terguncang, karena mereka masih sangat bergantung pada BBM bersubsidi.
Jabo bicara bahwa naiknya harga BBM di tengah situasi ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19
Upaya mengkompensasi dampak kenaikan harga BBM dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dinilainya belum tentu efektif.
Selain nominalnya yang terlalu kecil, yakni, Rp 600 ribu untuk 4 bulan, cakupannya juga hanya 20,65 juta orang dari 70 persen kelompok miskin dan rentan di Indonesia.
“Jika belum mampu membahagiakan rakyat, jangan persulit kehidupan mereka,” kata Agus Jabo dalam keterangannya, Selasa (6/9/2022).
Jabo menjelaskan, kondisi APBN sepanjang Januari-Agustus 2022 sebenarnya mengalami surplus.
"Kondisi itu harusnya membuat pemerintah bisa mengamankan subsidi BBM, sehingga tidak perlu ada keputusan menaikkan harga BBM sekarang ini," kata dia.
Baca juga: Harga BBM Naik, KAI Berencana Menaikkan Tarif Kereta Api Kelas Eksekutif
Apalagi, dalam pidato Presiden Jokowi menjelang peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan RI lalu juga menegaskan bahwa postur APBN cukup aman, bahkan surplus, sehingga bisa menjaga harga BBM tetap bisa dijangkau oleh rakyat.
Menurutnya, untuk menjaga ruang fiskal tetap aman, selain memaksimalkan pendapatan negara dari pajak, termasuk memaksimalkan potensi pajak kekayaan, pemerintah perlu mendorong efisiensi besar-besaran untuk belanja birokrasi.
Pemerintah juga bisa menghapus anggaran yang memanjakan pejabat negara seperti uang pensiun DPR, renovasi kantor dan lain-lain, serta menunda proyek-proyek yang tidak begitu mendesak seperti infrastruktur, pembangunan Ibu kota baru, dan proyek lainnya.
“Presiden bisa menunda pembangunan Ibu kota baru hingga kondisi ekonomi Indonesia benar-benar pulih, sehingga bisa mengamankan anggaran sebesar Rp 466 triliun,” ujar dia.
Dia juga menegaskan bahwa krisis energi yang terjadi hari ini dan masa depan harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang tata kelola energi nasional dari hulu ke hilir, agar tata kelola energi nasional lebih berdaulat dan bisa memakmurkan rakyat sesuai mandat pasal 33 UUD 1945.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.