Adian Napitupulu Bandingkan Kenaikan Harga BBM Era SBY dan Jokowi, Demokrat: Rakyat Lagi Susah
Demokrat meminta Adian tidak mendesepsi publik jika tak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat yang ingin BBM tidak naik.
Penulis: Reza Deni
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Demokrat merespons sola argumentasi Politisi PDIP Adian Napitupulu yang membandingkan kenaikan bahan bakar minyak pada masa Presiden Susilo Bambanv Yudhoyono dan masa Presiden Joko Widodo.
Demokrat meminta Adian tidak mendesepsi publik jika tak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat yang ingin BBM tidak naik.
Awalnya, menurut Kamhar Lakumani selaku Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, argumentasi yang disampaikan Adian adalah sebuah bentuk penyesatan yang sekaligus menunjukkan dirinya sama sekali tak memiliki empati terhadap penderitaan rakyat.
"Sungguh suatu sikap dan pemikiran yang mestinya dibuang jauh-jauh dari seorang wakil rakyat yang manakala menyampaikan pandangan ini, justru konstituen dan rakyat yang diwakilinya sedang kesusahan akibat kebijakan ini," kata Kamhar dalam pesan yang diterima, Kamis (8/9/2022).
Baca juga: Sebelum Dukung Kenaikan BBM, Adian Napitupulu Harusnya Belajar Matematika dan Sejarah Dulu
Kamhar berargumen bahwa Adian seolah mereduksi persoalan pada utak-atik angka-angka di tengah kesulitan rakyat yang ekonominya belum sepenuhnya pulih akibat Covid-19, kemahalan sembako, kenaikan TDL, mahalnya harga minyak goreng, dan kini dihadapkan pada situasi kenaikan harga BBM.
"Apalagi data yang disajikan menjadikan upah minimum DKI sebagai acuan kemampuan menenggang biaya kemahalan jelas tidak sebanding dengan daerah-daerah lain yang sebagian besar UMP-nya di bawah DKI," kata dia.
"Jadi ini sekedar narasi yang dibungkus dengan angka-angka untuk memberikan pembenaran terhadap kebijakan yang tak prorakyat," ujar Kamhar.
Terlebih, lanjut Kamhar, kebijakan ini diambil tatkala harga minyak dunia telah menunjukkan trend penurunan.
Kamhar menilai ini sama sekali berbeda dengan konteks yang dihadapi pemerintahan SBY yang memilih menaikkan harga karena APBN terancam jebol akibat lonjakan harga minyak dunia yang teramat tinggi, jauh dari asumsi APBN.
"Ketika kebijakan pahit ini pun ditempuh, disiapkan kebijakan kompensasi untuk menjaga daya beli dan meringankan beban rakyat. Itu pun dikritik habis-habisan oleh elit-elit PDIP termasuk Pak Jokowi yang kala itu menjabat Gubernur DKI yang ironisnya kebijakan kompensasi ini juga ternyata di contek ketika menjabat sebagai Presiden," ujarnya.
Kamhar menambahkan bahwa sebenarnya kritik para politisi PDIP pada masa itu hanya sekedar asal bunyi tanpa memahami persoalaan demi mengejar popularitas dan simpati publik.
"Jauh berbeda dengan situasi sekarang, itu pun ketika harga minyak dunia mengalami penurunan, maka segera dilakukan koreksi kebijakan untuk menurunkan harga. Yang sekarang malah saat harga dunia sedang turun, harga dalam negeri dinaikkan hanya untuk mengejar anggaran pembangunan IKN Nusantara, kereta cepat dan infrastruktur nonprioritas," ujar dia.
Baca juga: Adian Napitupulu Minta Pemerintah Evaluasi Subsidi BBM karena Dinilai Salah Sasaran
Lebih lanjut, Kamhar juga membalas argumentasi Adian soal perbedaan besaran gaju.
Menurutnya, pada masa pemerintahan SBY, gaji PNS/ASN, gaji Guru, gaji TNI/Polri setiap tahunnya juga dinaikkan dan pengangkatan 1,1 orang tenaga honerer menjadi PNS juga membuat daya beli masyarakat jauh lebih kuat menenggang kenaikan harga BBM.
Belum lagi, lanjut Kamhar, begitu banyak paket pekerjaan yang bersumber dari belanja pemerintah yang bisa dikerjakan.
Ada istilah bahkan kontraktor level kecamatan dan desa pun dapat pekerjaan di masa itu.
"Jauh berbeda dengan keadaan di masa pemerintahan sekarang. Rakyat lagi sulit-sulitnya, kembali dijejali beban kenaikan harga BBM," kata dia.
Belum lagi, dikatakan Kamhar, tumpukan utang pemerintahan sekarang tertinggi sepanjang sejarah republik ini berdiri.
"Jadi sebaiknya Bung Adian lebih cermat dalam membuat pernyataan. Jika tak mampu memperjuangkan aspirasi rakyat agar BBM tak naik, setidaknya tak membuat pernyataan yang mendesepsi publik," katanya.
"Pembangunan untuk manusia, bukan manusia untuk pembangunan. Filosofi ini mesti dipahami Bung Adian agar jati dirinya yang berlatarbelakang aktivis mahasiswa tak sepenuhnya hilang oleh kekuasaan," pungkas Kamhar.