Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Maarif Institute: Wali Kota Cilegon Langgar Konstitusi karena Ikut Teken Petisi Penolakan Gereja

Maarif Institute kritisi Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta ikut teken petisi penolakan bangun gereja.

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Maarif Institute: Wali Kota Cilegon Langgar Konstitusi karena Ikut Teken Petisi Penolakan Gereja
TribunBanten.com/Khairul Maarif
Wali Kota Cilegon, Helldy Agustian. Maarif Institute mengkritisi sikap Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta yang ikut meneken petisi penolakan pembangunan gereja di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten. Menurut Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, apa yang dilakukan Helldy dan Sanuji sudah melanggar konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD RI. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maarif Institute mengkritisi sikap Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Cilegon Sanuji Pentamarta yang ikut meneken petisi penolakan pembangunan gereja di lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Menurut Direktur Eksekutif Maarif Institute, Abd Rohim Ghazali, apa yang dilakukan Helldy dan Sanuji sudah melanggar konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD RI.

"Apakah tidak sadar bahwa apa yang Bapak berdua lakukan itu merupakan pelanggaran serius terhadap konstitusi, yakni Pasal 29 Ayat (2) UUD RI yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu," kata Rohim dalam keterangan tertulis, Senin (12/9/2022).

Rohim menjelaskan, penolakan pendirian tempat ibadah yang dilakukan oleh pejabat negara merupakan tindakan yang sengaja menghalangi-halangi warga negara untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan yang dianut.

Keberadaan rumah ibadah, lanjutnya, merupakan keniscayaan dalam setiap proses peribadatan bagi setiap pemeluk agama.

Tak hanya itu, menghalangi pendirian rumah ibadah sama artinya dengan menghalangi warga negara untuk beribadah.

"Kalau penolakan itu dilakukan oleh waga negara, anggota masyarakat biasa, barangkali bisa disebut sebagai bentuk aspirasi, atau hak untuk berekspresi, walau ini pun perlu dipertanyakan, karena menghalangi pendirian tempat ibadah dan atau menghalangi orang lain untuk beribadah adalah bentuk perampasan terhadap hak asasi orang lain," kata Rohim.

BERITA REKOMENDASI

Selain melanggar konstitusi, Rohim menilai Walkot dan Wawakot Cilegon juga dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 334 Ayat (2) poin (g) mengenai asas penyelenggaraan pelayanan publik, yakni persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.

Baca juga: NasDem Sesalkan Langkah Wali Kota Cilegon Helldy Agustian Dukung Penolakan Pendirian Gereja

Dari data yang diperoleh Maarif Institute, secara demografis terdapat lima agama yang dianut oleh masyarakat Kota Cilegon, yakni Islam sebesar 97 persen, Protestan 0,84 persen, Katolik 0,77 persen, Hindu 0,26 persen, dan Buddha 0,16 persen.

Dari kelima agama itu, tak ada satu pun rumah ibadah selain untuk pemeluk agama Islam.

"Jumlah masjid 381, mushala 387, sementara Gereja Protestan, Katolik, Pura, dan Wihara jumlahnya nihil alias zero!" papar Rohim.

Rohim mengatakan, apa pun alasannya, menghalangi pembangunan rumah ibadah merupakan tindakan diskriminatif dan membuktikkan bahwa toleransi beragama yang setiap saat dipidatokan dengan penuh semangat dan anti diskriminasi yang selalu menghiasi orasi, semuanya omong kosong belaka.

"Dan di Kota Cilegon, Provinsi Banten, yang Bapak berdua pimpin, omong kosong itu begitu nyata adanya," kata dia.

Dalam surat terbukanya, Maarif Institute menyebut bahwa pernyataan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengecam, tapi sebagai bentuk nasihat terhadap sesama Muslim.

Maarif Institute menganjurkan agar Walkot dan Wawakot Cilegon menaati konstitusi dan undang-undang serta memberi kebebasan kepada warga negara yang berada di wilayah Cilegon untuk memeluk agama dan beribadah sesuai perintah agamanya masing-masing.

"Jangan bertindak diskriminatif, memperhatikan dan memenuhi kebutuhan suatu kelompok penganut agama, dan mengabaikan kebutuhan kelompok penganut agama yang lain. Jadilah negarawan sejati yang senantiasa berpikir, berkata, dan bertindak untuk kepentingan semua warga negara," tutur Rohim.

"Dengan menunjukkan sikap sebagai negarawan, niscaya Bapak bedua akan dicatat sebagai pemimpin yang layak menjadi teladan," tambahnya.

Baca juga: Kemenag akan Gelar Pertemuan dengan Tokoh dan Wali Kota Bahas Polemik Pembangunan Gereja Cilegon

Sebelumnya diberitakan, sebuah kelompok yang menamakan diri Komite Penyelamat Kearifan Lokal Kota Cilegon menolak pembangunan rumah ibadah Gereja HKBP Maranatha di Lingkungan Cikuasa, Kelurahan Geram, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon, Banten.

Mereka sempat melakukan aksi damai dengan mendatangi Gedung DPRD Cilegon dan bertemu Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, Rabu (7/9/2022).

Aksi penolakan dilakukan berlandaskan Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 tertanggal 20 maret 1975 tentang penutupan gereja atau tempat jamaah bagi agama kristen dalam daerah Kabupaten Serang (sekarang Cilegon).

"Dokumen riwayat peraturan-peraturan yang patut dipatuhi bagi siapa saja yang berkedudukan di Cilegon baik itu masyarakat pribumi yang beragama Kristen yang wajib dipatuhi dari sejak tahun 1975 hingga saat ini," demikian dikutip dari keterangan tertulis Komite Penyelamat Kearifan Lokal Cilegon yang diterima Kompas.com.

Sementara, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian mengatakan, Pemerintah Kota Cilegon belum pernah menerima permohonan pendirian rumah ibadah.

Dikatakan Helldy, pada Selasa (6/9/2022), panitia pembangunan gereja hanya menyampaikan informasi bahwa proses persyaratan perizinan pembangunan rumah ibadah belum terpenuhi.

Yakni persyaratan berdasarkan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

"Persyaratan-persyaratan yang belum terpenuhi dalam pengajuan perizinan pembangunan rumah ibadah, di antaranya validasi dukungan masyarakat sekitar dari kelurahan," kata Helldy melalui keterangan tertulisnya, Kamis (8/9/2022).

Kemudian persyaratan rekomendasi Kantor Kementerian Agama Kota Cilegon dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

"Setelah persyaratan tersebut terpenuhi, barulah panitia mengajukan permohonan izin pembangunan tempat ibadah melalui OSS sesuai Undang-undang Cipta Kerja," jelas Helldy.

Baca juga: Pembangunan Gereja HKBP di Cilegon Ditolak, Warga Dasarkan Pada SK Bupati Tahun 1975

Terkait dengan penandatangan bersama yang dilakukannya pada Rabu (7/9/2022), Helddy mengaku hanya memenuhi keinginan massa.

Sebab, lanjut Helldy, persyaratan izin pembangunan gereja belum sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Hal tersebut (penandatangan penolakan) adalah memenuhi keinginan masyarakat Kota Cilegon yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan organisasi masyarakat," tegas Helldy.

Sementara, Ketua Panitia Pembangunan Rumah Ibadah HKBP Maranatha Cilegon, Marnala Napitupulu mengatakan, tahapan perizinan pembangunan rumah ibadah telah ditempuh untuk mengantongi izin sesuai aturan.

"Terkait rencana pembangunan HKBP Maranatha Cilegon sampai saat ini masih dalam tahap proses kelengkapan dokumen pengurusan perizinan sesuai dengan SKB 2 Menteri," kata Marnala melalui keterangan tertulisya yang diterima Kompas.com, Kamis (8/9/2022).

Marnala mengungkapkan, tahapan perizinan telah dilakukan yakni pendataan jumlah jemaat sebanyak 112 orang yang sudah divalidasi dari total jemaat 3.903 jiwa atau 856 KK di Cilegon.

Mereka juga telah mendapatkan dukungan dari 70 warga yang berada di Kelurahan Gerem atau sekitar lokasi rencana pembangunan gereja.

"Telah diajukan permohonan validasi domisili sejak 21 April 2022 kepada Lurah Gerem Rahmadi. Namun lurah tidak berkenan memberikan validasi atau pengesahan 70 dukungan warga dengan alasan tidak jelas," ujar Marnala.

Padahal, merujuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Bab IX, Pasal 53 Ayat 2-3 disebutkan, waktu paling lama 10 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh pejabat pemerintah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas