Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kritik Salah Alamat, Kampanye Greenwashing Kaburkan Isu Nyata Terkait Sampah Plastik

Penggiringan opini oleh lobi industri dapat merugikan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai daur ulang sampah plastik.

Penulis: Anniza Kemala
Editor: Bardjan
zoom-in Kritik Salah Alamat, Kampanye Greenwashing Kaburkan Isu Nyata Terkait Sampah Plastik
ISTIMEWA
Ilustrasi timbunan sampah plastik dari industri AMDK. 

TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah pihak dari industri air minum dalam kemasan (AMDK) terus melakukan penolakan terhadap rencana BPOM untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 yang mengatur tentang label pangan olahan.

Kali ini, sikap Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) yang secara terang-terangan melakukan penggalangan opini menyesatkan terkait rancangan regulasi BPOM disorot oleh para pengusaha dan pegiat lingkungan. Menurut mereka, langkah lobi industri AMDK ini sarat akan konflik kepentingan dan mengaburkan permasalahan nyata terkait sampah plastik.

Ketua Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI) Saut Marpaung, yang juga merupakan Anggota Dewan Pengarah dan Pertimbangan Persampahan Nasional, menilai lobi industri yang dilakukan Aspadin gencar menyampaikan kesan palsu tentang produk market leader yang diklaim lebih ramah lingkungan. 

Lewat lobi-lobinya, mereka melakukan pengalihan atau memberikan informasi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Langkah ini disebut sebagai strategi greenwashing.  

Kampanye greenwashing tersebut dilakukan dengan cara menutupi kekurangan dan kesalahan sendiri kepada masyarakat, dan sebaliknya membelokkan opini publik dengan melimpahkan kesalahan sendiri ke pihak lain.

“Fakta di lapangan, market leader ini penuh dengan problem sampah dan lingkungan. Dan fakta-fakta timbulan sampah plastik mereka, dialihkan kepada pesaing. Sikap dan opini greenwashing itu yang mereka gencarkan, terutama kini dalam merespon BPOM,” ujar Saut di Jakarta (9/9).

Saut melanjutkan, “Penyesatan opini yang hanya menargetkan pesaing utama mereka sekarang ini, yaitu galon sekali pakai, sebagai potensi menambah persoalan sampah itu aneh, primitif. Tak bisa ditutupi adanya konflik kepentingan kalau bicara persoalan sampah plastik.”

Berita Rekomendasi

Menurutnya, penggiringan opini oleh lobi industri dapat merugikan seluruh pihak yang terlibat dalam rantai daur ulang sampah plastik.

”APSI yang ikut berpartisipasi menjaga lingkungan dengan cara daur ulang sampah plastik pasti dirugikan dengan pembelokan fakta ini. Jangan sampai karena kepentingan persaingan usaha, terus mengeluarkan pendapat yang menyesatkan masyarakat,” katanya. 

“Dalam operasional sehari-hari, kami bisa buktikan bahwa sampah kemasan kecil tak punya nilai bagi industri daur ulang. Makanya kemasan kecil inilah yang menjadi persoalan sampah sesungguhnya, berpotensi tercecer, sulit dipungut dan menambah timbulan sampah. Tak sesuai dengan Permen KLHK no 75 tahun 2019, mengenai peta pengurangan sampah dan usaha phasing out kemasan di bawah 1 liter,” kata Saut. 

Lobi industri AMDK perburuk masalah sampah plastik di Indonesia

Kekecewaan yang dirasakan oleh para aktivis lingkungan terkait lobi industri serta kampanye greenwashing ini turut tertuju pada Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia, Rachmat Hidayat.

Sebagai pihak yang memimpin langkah lobi industri ini, Rachmat Hidayat juga memiliki peranan sebagai direktur sebuah perusahaan AMDK yang menjadi market leader di Indonesia.

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan sebuah media pada awal September lalu, Rachmat menggambarkan bagaimana industri AMDK galon polikarbonat yang dipimpinnya, seolah sedang dalam kondisi kurang baik. Bahkan, ia menyudutkan pihak lain bersama BPOM dianggapnya sedang mengancam kelangsungan bisnis raksasa kelompoknya.

“Ada pihak tertentu yang ingin melenyapkan AMDK galon polikarbonat dari pasar,” sebut Rachmat Hidayat dalam webinar tersebut.

Yang berbeda dari biasanya, Rachmat tak mengelak bahwa sampah berukuran kecillah yang justru mendominasi timbulan sampah pada webinar tersebut. Data pasar tahun lalu dari organisasinya menunjukkan bahwa Produksi kemasan gelas bersedotan 220 ml mencapai 10,4 milyar pcs/tahun.

Jumlah ini menyumbang timbulan sampah sekali pakai yang mencapai 46 ribu ton/tahun, atau 26 persen dari total timbulan sampah AMDK. Disebutkan juga bahwa sumbangan sampah dari market leader di kemasan ini mencapai jumlah 5300 ton/tahun.

Sebelumnya Rachmat Hidayat secara lantang menyatakan revisi Peraturan BPOM No. 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, yang menurutnya akan menimbulkan efek sulit dikendalikan. Rachmat mengklaim bahwa sebagai akibat dari peraturan tersebut, akan ada tambahan 70 ribu ton sampah plastik per tahun dari galon sekali pakai di TPA.

Menurut pemerhati ekonomi sirkular dari Nusantara Circular Economy & Sustainability Initiatives (NCESI), Yusra Abdi, kritik terhadap rencana regulasi BPOM ini merupakan kritik yang salah alamat.

“Kritik terhadap rencana regulasi  BPOM itu salah kaprah dan hanya mengikuti penolakan dari pihak industri,” kata Yusra belum lama ini.

Yusra menambahkan, sejak semula lobi industri sudah melontarkan banyak alasan untuk menghambat  regulasi BPOM.

"Salah satunya adalah dengan menyebut aturan pelabelan risiko polikarbonat bakal menambah jumlah sampah plastik, karena publik bakal terdorong untuk meninggalkan galon isi ulang dan beralih ke galon sekali pakai yang bebas BPA,” kata Yusra.

Padahal, menurut Yusra, seluruh air mineral non-galon yang beredar di pasar, kecuali kemasan gelas yang berbahan plastik polypropylene, menggunakan kemasan plastik sekali pakai dari jenis Polyethylene Terephthalate (PET), yang merupakan jenis plastik lunak bebas BPA.  Semua produk kemasan botol plastik dari pemegang market share terbesar di Indonesia pun turut menggunakan plastik PET.

"Penjualan terbesar produsen air kemasan terbesar di Indonesia salah satunya bersumber dari penjualan kemasan single pack size yang semuanya berbahan PET alias sekali pakai," kata Yusra.

"Bila masalahnya memang plastik sekali pakai, mengapa asosiasi industri tidak pernah mempersoalkan potensi sampah dari penjualan produk sekali pakai mereka yang masif itu?” tandasnya.

Pihak lain yang turut mengungkapkan kekecewaan mereka pada kampanye negatif yang digalang lobi industri dengan strategi greenwashing adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Net Zero Waste Consortium.

“Kampanye greenwashing ini kalau dilakukan terus menerus bisa dianggap jadi kebenaran,” kata Ahmad Safrudin  dari LSM Net Zero Waste Consortium.

“Lobi industri bisa dengan nyaman melindungi bisnis AMDK mereka yang tidak aman dan menyebabkan timbulan sampah tak pernah selesai, bukan cuma berceceran di jalan-jalan tapi juga menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” terangnya.

Menurut Ahmad, reputasi Indonesia di mata dunia pun akan memburuk sebagai salah satu polutan sampah plastik terbesar di dunia, karena sampah kemasan saset, gelas, sedotan dan botol plastik tersebar di berbagai tempat, dibuang di darat, di sungai dan tak ketinggalan, menyampah di laut.

“Lobi industri seolah merasa tak berdosa di sini, padahal itu semua produk mereka yang dibiarkan tanpa bertanggung jawab. Kalau sekarang lobi industri bersikap seolah mereka jadi korban regulasi pemerintah, lalu menyalahkan pihak lain, itu artinya membelokkan opini masyarakat dengan sengaja. Dan itu jahat sekali,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas