Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kritik UU PDP, LBH Jakarta Soroti Tiga Poin Utama: Lembaga Otoritas Harus Independen

RUU PDP telah menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR ke-5 Masa Persidangan Tahun Sidang 2022-2023, yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F. Paulus.

Penulis: Naufal Lanten
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Kritik UU PDP, LBH Jakarta Soroti Tiga Poin Utama: Lembaga Otoritas Harus Independen
Tribunnews/Chaerul Umam
Rapat Paripurna DPR RI mengecahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) menjadi Undang-Undang, Selasa (20/9/2022). 

Kemudian yang kedua, LBH beranggapan bahwa seharusnya struktur dan unsur dalam Lembaga/Badan Otoritas Perlindungan Data Pribadi harus diatur dan dimuat dalam UU PDP itu sendiri.

Hal itu merujuk seperti beberapa lembaga negara di luar konstitusi yang lahir atas sebuah peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh ialah UU ORI, UU KPK, UU HAM, dan Komnas Perempuan yang dibentuk melalui Kepres No 181/1998.

Mengingat, kehadiran Lembaga/Badan Otoritas walaupun tidak tercantum dalam konstitusi secara langsung, namun memiliki kepentingan konstitusional (constitutional importance) yang dapat dilihat dalam Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945.

Hal lain yang membuat Badan/Lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi memiliki kepentingan konstitusional adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM.

Ketiga, LBH menilai dalam prosesnya, pembahasan UU PDP terkesan sangat tidak transparan.

Mulai dari informasi RUU, tahapan proses pembentukan undang-undang, dan sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam perumusan yang tidak dibuka secara berkala kepada publik.

Berita Rekomendasi

“Terlihat, bahwa cepatnya pengesahan RUU PDP oleh pemerintah adalah akibat adanya beberapa kasus kebocoran data pribadi dan Permenkominfo 5/2020 tentang PSE Lingkup Privat,” kata Alif Fauzi.

Permasalahan pembentukan undang-undang selama ini ada pada komitmen para pembentuk undang-undang untuk transparan dan pelibatan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

“Sehingga suatu undang-undang tidak disahkan secara ugal-ugalan mengingat isu PDP ini sangat kompleks,” katanya.

Praktik tersebut, lanjut dia, merupakan bentuk legislasi otokratis (autocratic legalism) ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.

Hal ini, seakan-akan coba diperbaiki oleh pemerintah dengan melakukan Revisi Kedua UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).

“Yang mana sebenarnya sebagai alat legitimasi atas adanya UU Cipta Kerja tanpa adanya Laporan Akhir Analisis dan Evaluasi terhadap penerapan UU PPP terlebih dahulu,” tuturnya

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas