VIDEO KPK Ancam Jemput Paksa Anak dan Istri Gubernur Papua Lukas Enembe: Minta Mereka Kooperatif
KPK meminta kedua saksi tersebut kooperatif memenuhi panggilan pemeriksaan. Kalau tidak, KPK mengaku tidak segan untuk menjemput paksahttps://www.yout
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal mengirimkan surat panggilan pemeriksaan kedua untuk anak dan istri Gubernur Papua Lukas Enembe, atas nama Astract Bona Timoramo Enembe dan Yulce Wenda.
Hal itu disampaikan Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (6/10/2022).
Lembaga antirasuah itu meminta kedua saksi tersebut kooperatif memenuhi panggilan pemeriksaan.
Kalau tidak, KPK mengaku tidak segan untuk menjemput paksa.
"Soal mangkirnya para saksi, pasti kami segera panggil yang kedua kalinya."
"Dan jika mangkir kembali maka sesuai ketentuan hukum bisa dilakukan jemput paksa terhadap saksi," kata Ali Fikri.
Jemput paksa terhadap saksi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 112 ayat 2 KUHAP menyatakan: "Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya."
Astract Bona dan Yulce Wenda seyogianya diperiksa pada Rabu (5/10/2023) kemarin, tapi keduanya mangkir tanpa memberikan alasan.
Tim penyidik KPK saat ini telah memblokir rekening Yulce Wenda.
Hal itu dilakukan sebagai bagian kebutuhan pembuktian pada proses penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi.
"Telah lama kami lakukan pemblokiran tersebut, bukan karena saksi tersebut mangkir tidak datang memenuhi panggilan KPK," kata Ali.
KPK kesulitan memeriksa Lukas Enembe dan keluarganya.
Dari dua panggilan baik sebagai saksi maupun tersangka, Lukas selalu absen. Dia berdalih masih menderita sakit.
Atas dasar itu, KPK berkoordinasi dengan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Papua untuk bisa memeriksa Lukas.
Lukas telah dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan terhitung sejak 7 September 2022 hingga 7 Maret 2023.
Itu dilakukan agar memudahkan penanganan kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.(*)