DKPP: Dalam Dua Bulan Ini, Kami Menerima 85 Pengaduan Terkait Penyelenggara Pemilu Langgar Kode Etik
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) menyebut banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU.
Editor: Johnson Simanjuntak
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia (DKPP) menyebut banyak pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU.
Anggota DKPP sekaligus Unsur Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo, mengatakan baru seminggu pengurus DKPP periode 2022-2027 dilantik. Mereka sudah menerima 5 pengaduan atau laporan pelanggaran kode etik.
"Bulan lalu hingga bulan ini sudah ada sekitar 80 perkara masuk. Lalu, baru seminggu kami dilantik sebagai anggota di DKPP sudah ada 5 pengaduan, 2 dari Papua, 1 dari Aceh, 1dari Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan," kata Ratna saat konferensi pers, di gedung Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (11/10/2022).
Oleh karena jumlah pelanggar yang banyak, DKPP membuat perjanjian peminjaman tempat dengan Kementerian Hukum dan HAM.
Adapun tempat tersebut dibutuhkan DKPP untuk menggelar sidang etik terhadap anggota penyelenggara Pemilu yang melanggar.
Seperti diketahui, Ketua DKPP Heddy Lugito, mengatakan sebelumnya sidang etik yang dilakukan terhadap penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) di daerah yang melanggar, selalu disidangkan di kantor Bawaslu.
"Selama ini kalau ada pelanggaran atau dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Kita sidangkan di Bawaslu, kalau yang terduga pelanggar KPU," kata Heddy, saat konferensi pers, di gedung Kementerian Hukum dan HAM, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (11/10/2022).
Namun, kata Heddy, kantor Bawaslu tersebut tidak bisa untuk digunakan, jika dalam waktu yang bersamaan terdapat dua pelanggar yang harus disidang.
Baca juga: DKPP Berencana Buka Kantor di Wilayah yang Rawan Pelanggaran Pemilu
Hal itu, ujar Heddy, juga karena banyaknya anggota penyelenggara Pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik.
"Nah repotnya, kalau dalam kurung waktu yang sama itu ada dua terduga pelanggar dari Bawaslu dan KPU terus diadukan ke DKPP. DKPP bingung menyidangkan dimana kalau dalam waktu bersamaan," katanya.
Kerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM ini, menurut Heddy, harus dilakukan DKPP untu menghemat anggaran.
Sebab, Heddy, mengatakan DKPP tidak memiliki kantor dan anggaran DKPP tidak mungkin mampu menyewa tempat setiap ingin melakukan sidang etik.
"Jadi yang bisa kami lakukan adalah kerja sama dengan Kementerian dan Lembaga untuk menggunakan fasilitas kantor. Ini demi efisiensi anggaran juga, karena anggaran DKPP sangat terbatas dan enggak mungkin nyewa (tempat)," ujarnya.