IPW Sikapi Dugaan Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Diintimidasi Polisi: Pelanggaran Etik
Menyoroti soal gagalnya autopsi korban Tragedi Kanjuruhan yang diduga karena adanya intimidasi dari pihak kepolisian.
Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Police Watch (IPW) menyoroti soal gagalnya autopsi korban Tragedi Kanjuruhan yang diduga karena adanya intimidasi dari pihak kepolisian.
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso menyebut jika benar terjadi intimidasi dalam upaya itu maka masuk dalam pelanggaran etik.
"Tindakan mengintimidasi kemudian mengarahkan atau mencegah untuk tidak dilakukannya otopsi, bisa disebut satu bentuk pelanggaran kode etik polri di dalam menjalankan tugas penyidikan," kata Sugeng kepada Tribunnews.com, Kamis (20/10/2022).
Sugeng menyebut proses autopsi merupakan satu prosedur untuk membuktikan penyebab kematian seseorang.
"Kasus tragedi Kanjuruhan adalah kasus pidana matinya 133 orang, harus dicari tau sebab kematian, menurut satu prosedur untuk membuktikan sebab kematian adalah melalui otopsi," jelasnya.
Baca juga: Survei LSI Sebut Masyarakat Percaya Tragedi Kanjuruhan Disebabkan Penembakan Gas Air Mata
Untuk itu, jika ada permintaan untuk melakukan otopsi, maka Polri wajib mengakomodir proses otopsi tersebut.
"Sehingga ketika ada keluarga korban atau ahli waris korban meminta dilakukannya proses otopsi, penyidik wajib untuk mengakomodir dan melakukan otopsi atas jenazah. Karena hal tersebut adalah perintah demi keadilan," katanya.
Sebagai informasi, proses autopsi korban Tragedi Kanjuruhan Malang akhirnya gagal dilaksanakan dalam waktu dekat ini.
Hal ini seiring dengan pernyataan Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Tony Hermanto yang mengatakan, tindakan autopsi urung dilakukan karena pihak keluarga tidak mengizinkan.
Menindaklanjuti hal tersebut, pendamping Tim Gabungan Aremania (TGA), Andi Irfan menuding, gagalnya autopsi ini karena ada upaya intimidasi dari polisi kepada keluarga korban.
Baca juga: Bicara Tanggung Jawab Pidana Tragedi Kanjuruhan, Mahfud MD: Bisa Saja Kena Ketua Umum PSSI Nanti
Hal ini berdasarkan pengakuan dari pihak keluarga korban yang bernama Defi, warga Bululawang, Kabupaten Malang.
Dia kehilangan dua anaknya, dan sempat meminta agar mengautopsi jasad kedua anaknya tersebut.
Akan tetapi, sejak Defi menandatangani surat ketersediaan untuk dilakukan autopsi tersebut, rumahnya sering didatangi oleh polisi.
"Di sini keluarga korban punya pemahaman, bahwa polisi sedang mengancam dan mengintimidasi, walaupun tidak ada kata-kata verbal yang mengarah ke sana. Tapi kehadiran mereka adalah ancaman kepada keluarga korban," ucapnya saat ditemui TribunJatim.com, Rabu (19/10/2022).
Dalam kasus ini, pria yang juga Sekjen KontraS itu menyampaikan, Defi telah diarahkan menulis surat pernyataan yang berisi pembatalan atas rencana autopsi.
Dia mengatakan, aparat kepolisian dari Polres Malang yang mengarahkan secara detail, bagaimana cara membuat surat pernyataan yang berisi pembatalan rencana autopsi.
Padahal, Devi sebelumnya telah membuat surat pernyataan bersedia kedua anaknya untuk diautopsi.
"Jadi saya kira kalau dari pihak kepolisian menyatakan tidak ada intimidasi, itu tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan di lapangan. Saya melihat polisi menghalangi upaya penegakan hukum. Menghalangi upaya bersama untuk mengungkap fakta yang sebenarnya terjadi di Kanjuruhan," terangnya.
Sebelumnya, TribunJatim.com sempat menghubungi Defi melalui sambungan telepon pada Selasa (18/10/2022) kemarin.
Pada saat itu, Defi membenarkan, ada upaya intimidasi yang menyebabkan kedua anaknya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan urung di autopsi.
Defi membenarkan, rumahnya telah didatangi oleh polisi, yang membuat dirinya tidak tenang.
"Intimidasi itu benar. Rumah saya didatangi polisi. Saat ini saya masih di Blitar," ucap Defi.