Doni Monardo: Orang Minang Pedagang, Bukan Penambang
Doni Monardo risau dengan kota kelahirannya Padang Panjang karena banyaknya kerusakan alam di bumi Sumatera Barat, terutama akibat penambangan.
Editor: Theresia Felisiani
Kearifan Lokal
Kepedulian terhadap alam, di sejumlah daerah menjadi akar pengembangan seni dan budaya. Ia mengambil contoh dua provinsi yang kita sama-sama ketahui maju dalam hal seni dan budaya, yakni Bali dan Yogyakarta, yang berbasis kearifan lokal.
Di Bali hampir semua pranata kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya disandarkan atas dasar filosofi “Tri Hita Karana”. “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”.
Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi. Hakikat tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain.
Di Yogyakarta, terdapat satu filosofi luhur “memayu hayuning bawana”. Filosofi itu dijadikan pondasi pendirian Negara Yogyakarta Hadiningrat pada 13 Maret 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Secara harfiah artinya “mempercantik indahnya dunia”.
Ia kemudian menjadi falsafah hidup melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin. Masyarakat berkewajiban “memayu hayuning bawana” atau memperindah keindahan dunia. Manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya. Di pihak lain, secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya. Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan.
Baca juga: Doni Monardo dapat Ilmu Baru Nanam Mangrove
Terbukti, seni dan budaya di Bali dan Yogya tumbuh subur hingga hari ini.
Bagaimana dengan Tanah Minang? Budaya Minangkabau juga mewariskan filosofi hidup yang kurang lebih sama: “Alam Takambang Jadi Guru”. Secara harafiah bisa diartikan “Alam Terkembang Menjadi Guru”.
Falsafah Minang, didasarkan kepada pengajaran yang berasal dari hukum agama dan alam. "Alam Takambang Jadi Guru" mengajarkan orang Minangkabau untuk mengambil pengalaman dari berbagai fenomena dan kejadian alam sebagai bentuk inspirasi, pengalaman hidup, ide dan pola berpikir.
Di sini alam tidak hanya berarti unsur alam saja (seperti air, tanah, angin, dll), tetapi juga lingkungan dimana kita berada. Seorang Minang diharapkan belajar dari lingkungan sekitar: tentunya menjaga alam dari kerusakan.
Laporan Egy Massadiah dari Minangkabau (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.