Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kemenkes Bakal Tambah Rumah Sakit untuk Penanganan Gangguan Ginjal Akut

Kementerian Kesehatan menyampaikan saat ini ada 14 rumah sakit ginjal di 34 provinsi Indonesia, dengan RS rujukan nasional adalah RSCM.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Kemenkes Bakal Tambah Rumah Sakit untuk Penanganan Gangguan Ginjal Akut
Tangkap layar
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Mohammad Syahril mengatakan pihaknya akan menambah rumah sakit untuk penganganan gangguan ginjal akut. 

Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril menyampaikan saat ini ada 14 rumah sakit ginjal yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, dengan RS rujukan nasional adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

“Kita di Indonesia ada 34 provinsi, ada 14 rumah sakit ginjal. Rujukan nasionalnya ada di RSCM,” kata Syahril dalam konferensi pers daring, Selasa (25/10/2022).

Syahril menyebut penambahan jumlah rumah sakit untuk penanganan gangguan ginjal akut menyusul peningkatan kasus kemungkinan akan dilakukan.

Adapun penambahan rumah sakit akan ditambah dengan melihat kemampuan dokter maupun alat pada ibu kota dari provinsi yang ada.

Baca juga: Kemenkes: Obat Antidotum Diberikan Jika Frekuensi Buang Air Kecil Pasien Gagal Ginjal Berkurang

“Dan dari 14 ini tentu kita akan tambah sesuai dengan ibu kota provinsi yang memang punya kemampuan baik dokter maupun alat,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bahwa per 24 Oktober 2022, kasus gagal ginjal akut telah bertambah menjadi 255 kasus dari 26 provinsi di Indonesia.

Berita Rekomendasi

Angka ini mengalami peningkatan 10 kasus setelah pada 23 Oktober lalu mencapai 245 kasus.

Baca juga: Ombudsman Temukan Tiga Potensi Maladministrasi Kemenkes Kasus Gagal Ginjal Akut, Ini Penjelasannya

Sedangkan persentase untuk anak yang meninggal akibat penyakit ini kini mencapai 56 persen.

"Perkembangan kasus gagal ginjal akut per 24 oktober ini terdapat 255 kasus yang berasal dari 26 provinsi, dan yang meninggal sebanyak 143 atau angka kematiannya 56 persen," ujar dr Syahril, dalam Keterangan Pers virtual bertajuk 'Perkembangan Gangguan Gagal Ginjal Akut pada Anak di Indonesia', Selasa (25/10/2022).

Sementara itu, terkait data baru yang dihimpun tersebut, 10 diantaranya merupakan kasus lama yang terlambat dilaporkan dan terjadi pada September lalu.

"Dari data ini ada penambahan 10 kasus dan 2 kasus kematian, namun 10 kasus dan 2 kasus kematian ini adalah kasus yang lama, terlambat dilaporkan, yang terjadi pada bulan September dan awal Oktober tahun 2022, jadi bukan kasus baru ya," jelas dr Syahril.

Baca juga: Kasus Gagal Ginjal Akut pada Anak, Pemerintah Diminta Bentuk Tim Independen

Pakar Farmakologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati menjelaskan beberapa kemungkinan yang membuat obat sirup memiliki kandungan zat kimia berbahaya dan menyebabkan gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) pada anak.

Ia mengakui bahwa banyak orang tua yang tentunya akan menanyakan mengenai hal ini, 'mengapa obat sirup dahulu aman dikonsumsi, namun saat ini bisa berbahaya?'.

Faktor yang pertama adalah terkait sumber dari bahan baku pembuatan obat tersebut.

Menurutnya, mungkin aaja terdapat perbedaan sumber bahan baku obat yang diproduksi saat ini dan dahulu.

"Kok dulu aman-aman saja, sekarang kok bahaya?, sebetulnya ada beberapa possibility, yang pertama, mungkin memang ada perubahan sources atau perubahan sumber dari bahan baku, tetapi ini tentu saja harus dikonfirmasi kepada industrinya," kata Prof Zullies, dal program Kompas TV, Senin (24/10/2022).

Namun faktor ini dapat dibantah jika industri farmasi yang memproduksi obst tersebut mampu menunjukkan dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya bahwa tidak ada kandunga zat kimia berbahaya di dalamnya.

"Jika memang industri farmasi bisa menunjukkan dokumen yang valid bahwa tidak ada perubahan bahan baku, yang dulu aman-aman begitu, maka possibility ini menjadi gugur ya, bahwa ini tidak seperti itu," jelas Prof Zullies.

Selanjutnya, faktor kedua yang mungkin dapat menjadi penyebab munculnya zat kimia berbahaya seperti Etilen Glikol (EG) dan Dietilem Glikol (DEG) adalah terkait penyimpanan obat yang tidak tepat.

Perlu diketahui, Polietilen glikol merupakan zat yang kerap digunakan sebagai zat pelarut tambahan untuk obat-obatan cair seperti obat sirup.

Nah, zat ini sebenarnya tidak berbahaya jika kadar penggunaannya berada di bawah ambang batas.

Namun perlu diperhatikan, jika terjadi penguraian polietilen glikol pada saat penyimpanan, maka dapat menghasilkan cemaran zat berbahaya seperti EG dan DEG.

"Yang kedua, mungkin ada faktor misalnya peruraian selama penyimpanan, bisa saja polietilen glikol ataupun gliserol atau apa yang menjadi bahan baku yang sebetulnya itu adalah wajar, mengalami peruraian selama penyimpanan. Misalnya ketika di masyarakat disimpan secara tidak tepat, kena paparan panas dan sebagainya," papar Prof Zullies.

Kendati demikian, faktor ini tidak bisa menjadi landasan penyebab ratusan anak mengalami gagal ginjal akut.

Karena pada dasarnya, kata dia, banyak orang tua yang melakukan penyimpanan obat dengan meletakkannya di tempat sejuk dan menghindari papara sinar matahari.

"Tetapi ini memang tidak bisa menjawab 'kenapa dulu nggak (bahaya), kok sekarang iya' padahal kan cara menyimpan orang ya sama-sama saja seperti yang dulu. Jadi possibility ini mungkin bisa gugur juga," tutur Prof Zullies.

Kemudian faktor ketiga bisa saja terkait tindakan menyimpang (misconduct) dalam pembuatan obat tersebut.

Namun ia menegaskan bahwa untuk faktor satu ini diperlukan pembuktian secara akurat lantaran dapat berkaitan dengan hukum.

"Possibility yang ketiga adalah mungkin memang ada misconduct di dalam pembuatan. Tetapi yang ini kan harus dibuktikan secara benar-benar yang akurat ya, karena ini berimplikasi hukum," kata Prof Zullies.

Namun di luar itu semua, Prof Zullies menekankan bahwa konsumsi obat sirup dapat dianggap aman jika kandungan zat kimia yang menjadi bahan pelarutnya berada pada ambang batas aman.

"Selama ambang batasnya tidak terlampaui, maka sebetulnya tidak ada masalah," pungkas Prof Zullies.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas